catatan | ingot simangunsong
APA yang sementara ini, dapat dipetik dari tahapan pemilihan calon kepala daerah [gubernur, bupati dan wali kota] untuk menjadi kepala daerah di Pemilihan Kepala Daerah [Pilkada] Serentak yang akan digelar pada 27 November 2024?
Boleh disebut sementara, bahwa para calon bersama tim pemenangan, “terjebak” dalam debat politik yang tidak produktif, dan menimbulkan “kegamangan” bahkan “pesimistis” terhadap niatan para calon kepala daerah untuk lebih menonjolkan visi misi membangun daerah yang akan dipimpinnya.
Para calon kepala daerah — masih perlu ada kajian mendalam dari siapa dan dari mana dimulainya ketidak produktifan — “terjebak” dalam pusaran menohok lawan politik dengan “teriakan – teriakan hujatan” dan upaya “menelanjangi” borok serta bobroknya rival politik.
Bahkan sampai pada titik singgungan yang sifatnya sangat pribadi [prilaku] si calon kepala daerah.
Uniknya, pihak yang merasa “ditelanjangi”, malah terseret arus ketidak-produktifan untuk membalasnya dengan mencari – cari borok lawannya.
Prihatin — tentu saja — ketika terjadi tindakan yang di luar nalar, yakni adanya pelemparan, adanya narasi – narasi tak beradab yang bukan bagian dari visi misi yang seharusnya.
*****
Bagaimana dengan peranan media [pers/jurnalis] di tahapan Pilkada?
Saya tidak dapat melupakan pesan guru jurnalis saya, Pimpinan Umum/Redaksi Harian Sinar Indonesia Baru [SIB], almarhum DR GM Panggabean yang berpesan tentang MATA, TELINGA dan MULUT [akal sehat], sebelum melepas saya untuk menjalankan tugas kejurnalistikan.
“You… (begitu biasanya, almarhum memanggil pasukannya), adalah mata, telinga dan mulut yang mewakili mediamu, saat dimana you ditugaskan.”
Begitu pesannya, yang dapat dimaknai bahwa seorang jurnalis diplot untuk membawa data yang sesuai dengan “rohnya” media bukan membawa data yang diinginkan narasumber dengan mengabaikan pesan yang disebut sebagai mata, telinga dan mulut tersebut.
Media … sebenarnya diharapkan tetap berada pada patron sebagai penyampai informasi, edukasi dan hiburan. Memberikan ruang yang sepadan bagi seluruh calon kepala daerah di medianya dalam menyampaikan visi – misi.
Media menjadi tidak produktif, ketika mengabaikan hal tersebut. Media tidak produktif ketika tidak tegak lurus lagi dengan ke-INDEPENDEN-annya.
*****
Tahapan Pilkada — seidealnya sebuah pesta — adalah CURAHAN KEGEMBIRAAN, bukan menjadi arena hujat menghujat, fitnah dan tidak tegak lurus pada narasi visi misi.
Tahapan Pilkada — sejatinya — membangun kedewasaan atau kematangan politik bagi para calon pemilih yang akan menetapkan siapa yang akan dipilih saat berada di bilik suara.
Media, idealnya menginformasikan, dan mengedukasi para calon kepala daerah bersama tim serta masyarakat, untuk berpolitik aman dan damai, sesuai dengan hasil penandatangan kesepakatan bersama.
Ke depan, para pengambil kebijakan di negeri ini, perlu memikirkan untuk juga memberikan masa bakti yang sama kepada kepala daerah seperti masa bakti kepala desa, yakni 8 tahun dan bila perlu 10 tahun.
Hal tersebut akan memberikan waktu panjang bagi kepala daerah terpilih untuk membangun daerahnya. Hal tersebut akan lebih menghemat cost politic, menghapus sebutan petahana karena kepala daerah tidak dapat mencalonkan kembali, tim pemenangan akan berganti dan diharapkan dapat lebih mematangkan pendidikan politik para pemilih.
Penulis, Ingot Simangunsong, adalah Pimpinan Redaksi Segaris.co