Catatan | Ingot Simangunsong
SEORANG camat, mengingatkan para kepala desa yang menerima jabatan sebagai pemangku tertinggi di wilayahnya, bahwa pesta demokrasi pemilihan kepala desa, sudah USAI.
Sebagai kepala desa terpilih, camat itu mengingatkan, agar seterbuka mungkin membangun komunikasi dengan seluruh lapisan warga yang dipimpinnya, terkhusus kepada calon kepala desa yang KALAH.
Tujuannya, untuk menjalin kebersamaan dalam membangun dan memajukan desa, agar warganya sampai ke tujuan, yaitu SEJAHTERA.
Itu pesan NORMATIF yang disampaikan seorang CAMAT yang membawahi beberapa desa (yang menduduki tampuk kepemimpinannya karena ditunjuk kepala daerah/bupati), bukan karena atas pilihan warga desa.
Artinya, pesan CAMAT tersebut, boleh jadi sebagai nasehat yang dimasukkan dalam benak para kepala desa, atau diabaikan (masuk kuping kanan dan keluar dari kuping kiri).
PERTARUNGAN BEBAS dan KETAKUTAN POLITIK di Sistem Proporsional TERBUKA
Raja-raja kecil
Apa pun yang disampaikan atau tersampaikan, melalui berbagai pesan, tokh yang tertampilkan, bahwa para kepala desa yang terpilih dari hasil pesta demokrasi tersebut, telah menjelmah menjadi “raja-raja kecil.”
Disukai atau tidak, atas tampilan “raja-raja kecil” tersebut, flashback-nya karena mereka telah mengeluarkan “cost politic” yang lumayan besar.
Kebesaran sebagai “raja-raja kecil”, mereka tampilkan setelah mulai masuk ke ruang kerjanya. Menatap secermat-cermatnya setiap ruangan. Kemudian, mulai mengotak-atik siapa yang harus dikeluarkan dari lingkungan keluarga besar pemerintahan desa.
Marlon Brando Nadeak: “Perawatan durian MUSANG KING tidak bisa sembarangan, harus ada penyuluhan”
Di satu desa — di sebuah warung sarapan pagi — si penjual sarapan nyeletuk, bahwa kepala desa yang baru dilantik itu, sudah “memberhentikan” beberapa staf honor.
Siapa yang menggantikannya? Sudah pasti, ya orang-orangnya, kata penjual sarapan pagi tersebut.
Kata “orang-orangnya” itu, jadi terkoneksi pada gelar pesta demokrasi dan masa jabatan kepala desa yang 6 tahun. Menjadi sesuatu yang dibudayakan, ganti kepala desa, ganti pula orang-orang di kantor kepala desa, dengan sebutan “orang-orangnya.”
Kata “orang-orangnya”, kita harapkan menjadi sesuatu yang positip, bukan hal yang sudah bergeser dari pesan CAMAT. Atau bukan menjadi “aji mumpung.”
Anggaran dana desa
Kemudian, “raja-raja kecil” tersebut terkoneksitas langsung ke penggunaan anggaran dana desa yang datang dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, yang jumlah anggarannya sampai miliaran rupiah.
Tentu saja, penggunaan dana tersebut tetap dalam pengawasan dan diketahui kepala daerah/dinas terkait.
“Raja-raja kecil” tersebut, diharapkan tetap tegar dengan integritas membangun desa untuk meningkatkan kesejahteraan warga yang telah mempercayainya memimpin.
Tentu, dengan merealisasikan seluruh program Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi sesuai dengan petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis).
Agar anggaran dana desa, tidak “menguap” di program yang mubajir dan merugikan negara, karena program yang tidak jelas manfaatnya.
Salah satu contohnya, adalah terkait pengadaan bibit durian yang katanya “MUSANG KING” dan teralokasi dari anggaran dana desa, serta disebarkan kepada warga yang menerima satu bibit setiap orang, tanpa ada penyuluhan apa pun dalam proses tanam dan perawatan serta kebermanfaatannya bagi warga di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.
Kontrol terhadap penggunaan, pertumbuhan dan kebermanfaatan bibit durian yang katanya “MUSANG KING” tersebut, sepatutnyalah dilakukan pihak-pihak berkompeten yang bersentuhan dengan benar tidaknya penggunaan anggaran dana desa.
Para pihak yang berkompeten, perlu melakukan peninjauan sebaran bibit durian yang katanya “MUSANG KING” itu, agar menjadi bahan evaluasi serta bentuk pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat dalam pengadaan bibit durian yang disebut-sebut “MUSANG KING” tersebut.
Durian “Warisan” dan “Musang King” yang dipandang sebelah mata
Sudah setahun usia bibit durian yang katanya “MUSANG KING” itu, patut dilihat atau ditinjau, apakah bertumbuh dengan baik atau mati. Berapa jumlah bibit dan desa penerima, serta besaran anggarannya. Jika sebarannya tidak bermanfaat, tentu ada penyia-penyiaan anggaran.
“Raja-raja kecil” perlu bercermin dari berbagai program yang tidak jelas arah dan manfaatnya. Agar tidak menjadi temuan dan berurusan dengan aparat penegak hukum. Kemudian, para warga yang dipimpin “Raja-raja kecil”, tidak dijadikan “KAMBING HITAM”.
“Raja-raja kecil”, menegakkan peraturan dan menjaga bersihnya lingkungan kerja, untuk tujuan kebaikan, adalah sah-sah saja. Tetapi, menjadi semakin kuat ketika penggunaan anggaran dana desa, benar-benar dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan warga.
Kesejahteraan itu, berkaitan dengan meningkatnya ketahanan pangan setiap warga.
Penulis, Ingot Simangunsong, pimpinan redaksi segaris.co