catatan | Ingot Simangunsong
PANGGUNG politik pesta demokrasi Pilkada Serentak 2024, terkesan dimanfaatkan para calon kepala daerah, sebagai arena SINDIR MENYINDIR, ketimbang menyampaikan visi – misi.
Saling SINDIR itu, tidak hanya keluar dari mulut calon kepala daerah, juga dari mulut juru bicara, hingga para pendukung masing-masing calon.
Padahal, yang diharapkan dari pesta demokrasi yang digelar sekali dalam lima tahunan tersebut, adalah transformasi edukasi politik, agar masyarakat [khsususnya para pemilik suara] menjadi MELEK POLITIK. Tidak gagal paham, tentang apa yang disebut SUARA RAKYAT adalah SUARA TUHAN. Bahwa kedaulatan ada di tangan RAKYAT.
Dana Rp1 triliun dan para calon
Tahukah Anda, pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) bersama pemerintah kabupaten/kota telah sepakat untuk membiayai penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 dengan dana sebesar Rp1 triliun yang telah dialokasikan untuk mendukung Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai pihak penyelenggara.
Kesepakatan ini dikukuhkan melalui penandatanganan bersama antara Pj Gubernur Sumut dan para bupati serta wali kota dari seluruh wilayah Sumut.
“Dana sebesar Rp1 triliun yang berasal dari anggaran pemerintah daerah dan provinsi tersebut akan digunakan untuk mendukung kegiatan KPU dan Bawaslu sesuai dengan tahapan Pemilu,” ujar Hassanudin setelah acara penandatanganan yang digelar di Hotel Grand Mercure, Medan, pada Rabu (27/09/2024).
Itu masih dana bagi penyelenģgara, bagaimana dengan besaran dana yang harus dikeluarkan para calon kepala daerah yang bertarung untuk merebut kursi KEKUASAAN? Tentu bisa saja mencapai angka ratusan miliar rupiah lebih [atau tergantung besaran jumlah suara pemilih].
Sayang sekali
Artinya, dengan anggaran yang demikian besar itu, sangatlah tidak sepadan, jika panggung politik yang disediakan penyelenggara, ditambah biaya sendiri, justru dimanfaatkan sebagai arena SINDIR MENYINDIR antara calon gubernur, calon bupati dan calon wali kota.
SINDIRAN itu berkaitan dengan BOROK dan proyek-proyek terbengkalai, bahkan masuk pula ke ranah privasi, yang keluar dari mulut calon dan para pendukung.
Bahkan media sosial [facebook, instagram dan lainnya] dijadikan sebagai wadah yang lebih terbuka “menelanjangi” borok lawan politik.
Para calon kepala daerah, terkesan mencari dukungan suara dari para pemilih dengan membagkitkan rasa emosional [amarah] politik. Bukan melalui edukasi politik, adu argumentasi program.
Sayang sekali, dengan anggaran yang demikian besar, para calon kepala daerah dan massa pendukungan, hanya mampu berimprovisasi di seputaran SINDIR MENYINDIR untuk mendapatkan simpatik dari para pemilik SUARA.
Padahal semua kegiatan dalam rangka sosialisasi yang dilakukan pribadi calon, pribadi paslon, relawan, tim sukses, maupun partai politik, harus memperhatikan ETIKA.
Rakyat [pemilih] seharusnya teredukasi bukan tergerus politik EMOSIONAL yang dapat menimbulkan ruang “ketidakBERADABan”.
Penulis, INGOT SIMANGUNSONG, pimpinan redaksi Segaris.co