catatan | ingot simangunsong
SOE Hok Gie, seorang aktivis muda keturunan Tionghoa – Indonesia, pernah dengan tegas menyatakan bahwa politik adalah “barang paling kotor.”
Menurutnya, politik dipenuhi oleh lumpur-lumpur kotor yang sulit dihindari. Namun, Gie juga memahami bahwa ada saatnya seseorang tidak bisa menghindari politik dan harus terjun ke dalamnya, meski dengan segala risikonya.
Dilahirkan pada 17 Desember 1942, Gie dikenal sebagai salah satu kritikus tajam terhadap rezim Presiden Soekarno dan Soeharto.
Sebagai mahasiswa jurusan Sejarah di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, ia tidak hanya menentang kekuasaan yang otoriter, tetapi juga mengecam rekan-rekan mahasiswa yang mulai terlibat dalam politik praktis.
Dalam salah satu tulisannya, ia mengingatkan, “Bergabunglah dengan partai politik kalau mau berpolitik, jangan mencatut nama mahasiswa,” ungkapan yang ia tulis dalam karya berjudul “Setelah Tiga Tahun,” yang termasuk dalam kumpulan tulisan Zaman Peralihan.
Di samping aktivitasnya sebagai aktivis, Gie juga dikenal sebagai pecinta alam dan pendaki gunung yang sangat mencintai keindahan alam.
Hobi mendaki ini, seperti yang diungkapkan dalam tesis John R. Maxwell berjudul “Soe Hok Gie: A Biography of a Young Indonesian Intellectual,” kemudian menjadi cikal bakal berdirinya organisasi Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI).
Namun, hobi mendakinya itu pula yang membawa Gie pada akhir tragis hidupnya.
Pada 16 Desember 1969, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27, Gie meninggal dunia di puncak Gunung Semeru, Jawa Timur.
Kematian ini diduga akibat menghirup gas beracun, mengakhiri perjuangan dan idealismenya yang tak pernah padam.
Pasca gagalnya Herry Chandra, Reformasi PDIP Sumut dan Simalungun
Dunia Politik: Antara risiko dan harapan
Panggung politik Indonesia saat ini tak ubahnya seperti arena akrobatik yang penuh risiko, menciptakan perasaan tegang bagi siapa pun yang terlibat.
Di media sosial, kita sering melihat orang-orang saling mencaci, menuduh, bahkan menyebarkan hoaks sebagai kebiasaan sehari-hari.
Praktik semacam ini juga tampak dalam acara talkshow di berbagai stasiun televisi nasional yang kerap menghadirkan para elit politik.
Fenomena ini mencerminkan betapa politik semakin menjauh dari esensinya sebagai sarana untuk mengabdi kepada kemanusiaan.
Alih-alih menjadi wadah untuk mewujudkan kebaikan bersama, politik seringkali digunakan untuk mengejar kekuasaan, bahkan jika itu berarti harus mengorbankan kemanusiaan.
Sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles, politik seharusnya menjadi upaya bersama warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, bukan malah memperburuk keadaan.
Meski demikian, kita tidak boleh pesimis terhadap politik atau apatis terhadap keadaan. Sejarah telah membuktikan bahwa politik juga bisa menjadi alat untuk kebaikan.
Tokoh-tokoh seperti Gandhi dari India dan Nelson Mandela dari Afrika Selatan mampu mengubah wajah politik yang kelam menjadi jalan untuk memperjuangkan kebaikan.
Di Indonesia, kita mengenal KH. Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, seorang politisi ulung yang kiprahnya tak diragukan lagi, terutama setelah runtuhnya rezim Orde Baru.
Gus Dur yang juga mendirikan sebuah partai politik, pada akhirnya menjadi Presiden Indonesia.
Ungkapannya yang terkenal, “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan,” sering diucapkannya dalam berbagai kesempatan.
Sebagai bapak bangsa, Gus Dur dikenal gigih memperjuangkan hak-hak kaum minoritas dan konsisten menentang segala bentuk penindasan.
Gus Dur adalah bukti nyata bahwa politik bisa dan seharusnya mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
Semoga dengan mengingat tokoh-tokoh ini, kita tetap memupuk harapan bahwa politik bisa menjadi sarana untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan bagi semua.
Penulis, INGOT SIMANGUNSONG, pimpinan redaksi Segaris.co