Oleh | ingot simangunsong
KORUPSI itu, berasal dari bahasa latin yaitu corruptus dan corruption, yang artinya buruk, bejad, menyimpang dari kesucian, perkataan menghina, atau memfitnah.
Pelaku korupsi disebut KORUPTOR (pribadi yang buruk, bejad dan menyimpang dari kesucian).
Sempat pula, korupsi disebut sebagai tindak kejahatan luar biasa.
Kemudian makna itu pun bergeser, menjadi sama dengan tindak kejahatan biasa, dikarenakan 23 koruptor (naripidana tindakan korupsi) mendapatkan pembebasan bersyarat.
Dari 23 koruptor yang dibebaskan bersyarat itu antara lain Ratu Atut Chosiyah (mantan Gubernur Banten), Pinangki Sirna Malasari (mantan jaksa), Patrialis Akbar (mantan hakim Mahkamah Konstitusi), Suryadharma Ali (mantan Menteri Agama), dan Zumi Zola (mantan Gubernur Jambi).
Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan menyebutkan, pembatalan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, narkotika, terorisme dan lainnya oleh Mahkamah Agung (MA) telah membuat korupsi tak lagi dikategorikan kejahatan luar biasa alias extraordinary crime, sehingga pelakunya bisa mendapatkan remisi seperti pelaku tindak pidana lainnya. (sumber: CNN Indonesia.com).
Ruang berpolitik
Setelah korupsi tak lagi terkategorikan sebagai kejahatan luar biasa, partai politik pun membukakan kembali ruang berpolitik kepada sejumlah MANTAN KORUPTOR.
Disebutkan untuk Caleg DPR-RI, terdapat 67 mantan narapidana atas berbagai jenis kejahatan, termasuk perkara korupsi, yang ikut kontestasi menjadi wakil rakyat.
Hal itu juga, merembet ke pencalegan di DPRD Provinsi dan kabupaten/kota.
Dengan dibukanya ruang berpolitik bagi para MANTAN KORUPTOR, menjadi sebuah penguatan bahwa upaya pemberantasan korupsi masih tetap berada di “Wilayah SETENGAH HATI.”
Terlepas bahwa seorang koruptor (pribadi yang buruk, bejad dan menyimpang dari kesucian) itu, mampu atau sanggup mempertunjukkan perubahan sikap, tentu tidaklah diharuskan atau digiring masuk kembali ke ruang yang dapat mengindikasikan terjadinya proses korupsi.
Perubahan sikap mantan koruptor yang terlihat partai politik, cukuplah sebagai sebuah catatan perjalanan hidup bagi mereka. Tidaklah partai politik memberikan reward tiket berpolitik.
Partai politik telah mempertunjukkan atau mempertontonkan “sebuah kekonyolan” membawa mantan koruptor memasuki ruang berpolitik. Atau sama dengan, partai politik telah mengembalikan hak berpolitik bagi MANTAN KORUPTOR.
Tinggal finalnya, berada di tangan para pemilih, apakah memiliki pemikiran sama dengan partai politik, yakni memberikan ruang atau kesempatan bagi MANTAN KORUPTOR dan yang lainnya untuk dipilih.
Jika para pemilik suara, bersikap sama dengan partai politik, maka loloslah 67 mantan narapidana atas berbagai jenis kejahatan, termasuk perkara korupsi, yang ikut kontestasi menjadi wakil rakyat, duduk di kursi empuk di Senayan, DPRD Provinsi dan kabupaten/kota.
Lebih dahsyatnya, ketika MANTAN KORUPTOR dan mantan narapidana lainnya duduk, maka akan disebutlah WAKIL RAKYAT yang TERHORMAT.
Partai politik dan para pemilih yang merekomendasi terpilihnya MANTAN KORUPTOR itu untuk duduk di Senayan dan DPRD provinsi/kabupaten/kota, telah berhasil juga menghapuskan kata EFEK JERA dalam semangat memberangus KORUPSI.
Kemudian, para MANTAN KORUPTOR dan mantan penjahat itu, ternyata tidak PUNYA URAT MALU dan bermuka TEMBOK.
Yakhhhh, tarik nafaslah, karena dalam berpolitik selalu ada kepentingan. Dan dalam memuluskan sebuah kepentingan, ruang politik adalah pintu masuknya.
Begitulah lakon politik di “Wilayah SETENGAH HATI.”
Penulis, ingot simangunsong, pimpinan redaksi mediaonline segaris.co