Oleh | Sutrisno Pangaribuan
PERNYATAAN Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan, Ali Mochtar Ngabalin (Ngabalin) terkait hasil sidang Tim Penilai Akhir (TPA), offside.
Ironisnya, pernyataan Ngabalin dijadikan rujukan tunggal oleh semua media, dalam memberitakan nama-nama Penjabat Gubernur.
Mesk ipun belum ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Keppres), nama-nama yang beredar tersebut telah dibahas dan diberi ucapan selamat oleh berbagai pihak.
Ngabalin yang bukan anggota TPA, dan bukan juru bicara TPA, menyampaikan hasil sidang TPA yang seharusnya tertutup kepada publik.
Ngabalin mendahului Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disebut memimpin rapat TPA saat itu. Posisi dan jabatan Ngabalin, bukan pembantu Presiden Jokowi, tetapi pembantu Moeldoko.
Maka pernyataan Ngabalin selain mendahului Jokowi, juga tidak menghargai Moeldoko sebagai pimpinannya.
Soal nama Pj Gubernur Sumut, PSI: “Bisa kategori kebocoran rahasia negara”
Tindakan Ngabalin melampaui kewewenangannya, sebagai pembantu Moeldoko yang merupakan anak buah dan pembantu Presiden Jokowi.
Sidang TPA bersifat rahasia dan tertutup
Penetapan Penjabat Gubernur akhirnya memunculkan spekulasi dan polemik karena Ngabalin membocorkan hasil sidang TPA yang bersifat rahasia dan tertutup.
Padahal hasil sidang TPA sendiri bukan satu-satunya dasar memutuskan dan menetapkan Penjabat Gubernur.
Presiden sebagai Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, dan Panglima Tertinggi TNI dapat merubah hasil sidang TPA, atau mengabaikan hasil sidang TPA demi kepentingan bangsa dan negara.
Pejabat Gubernur dapat diputuskan dan ditetapkan sendiri oleh Presiden tanpa sidang TPA.
Presiden Jokowi dapat mengangkat nama-nama calon yang tidak ada dalam usulan dan proses melalui DPRD, kementerian/ lembaga, dan tanpa profiling Kemendagri.
Proses sidang TPA adalah proses normal dan formal, sedang keputusan akhir ada pada pilihan dan keputusan objektif dan subjektif Presiden Jokowi.
Maka sangat mungkin hasil sidang TPA yang dibocorkan Ngabalin ke publik berbeda dengan yang akan diputuskan dan ditetapkan Presiden Jokowi, dituangkan dalam Keppres.
Sejumlah nama tidak memenuhi syarat
Meski tidak layak dijadikan rujukan, karena belum diputuskan dan ditetapkan dalam Keppres, namun nama-nama yang dibocorkan Ngabalin dipastikan sebagian tidak memenuhi syarat sebagai Penjabat Gubernur.
Salah satunya adalah Mayor Jenderal TNI Hasanuddin, yang dalam berbagai berita disebut purnawirawan.
Maka purnawiran tidak dapat diangkat sebagai Penjabat Gubernur, kecuali yang bersangkutan sebelum purnawirawan dari TNI telah melalui alih status dari aparat TNI menjadi aparatur sipil negara.
Dan yang bersangkutan saat dipilih dan diangkat sebagai Penjabat Gubernur sedang menduduki jabatan pimpinan tinggi madya (JPT Madya) melalui hasil seleksi terbuka (lelang jabatan).
Bagi aparat TNI dan Polri, aparat negara yang bukan ASN, harus melewati proses dan tahapan untuk alih status menjadi ASN.
Pangkat dan jabatan dalam TNI dan Polri tidak serta merta (otomatis) disesuaikan pada ASN. Aparat TNI dan Polri yang sudah alih status menjadi ASN harus ikut seleksi JPT Madya (lelang jabatan).
Maka jika tanpa proses alih status dan tanpa proses seleksi (lelang) ASN pada JPT Madya, Mayor Jenderal TNI Hasanuddin (dalam berita disebut purnawirawan) tidak memenuhi syarat menjadi Penjabat Gubernur.
Nama-nama yang disebut Ngabalin harus dilacak status JPT madya nya pada kementerian dan lembaga dan pemerintah daerah. Adapun JPT madya ASN adalah sebagai berikut:
1. Sekretaris jenderal kementerian,
2. Sekretaris kementerian,
3. Sekretaris utama,
4. Sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara,
5. Sekretaris jenderal lembaga nonstruktural,
6. Direktur jenderal,
7. Deputi,
8. Inspektur jenderal,
9. Inspektur utama,
10. Kepala badan,
11. Staf ahli menteri (bukan staf khusus),
12. Kepala Sekretariat Presiden,
13. Kepala Sekretariat Wakil Presiden,
14. Sekretaris Militer Presiden,
15. Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden,
16. Sekretaris daerah provinsi.
Maka jika nama-nama yang disebut Ngabalin tidak menduduki jabatan-jabatan tersebut maka pasti tidak memenuhi syarat sebagai Penjabat Gubernur.
Perhatian khusus untuk Papua
Presiden Jokowi harus hati- hati dalam memutuskan dan menetapkan Penjabat Gubernur Papua. Dinamika politik pasca Lukas Enembe harus dikelola dengan baik.
Masyarakat Papua pasti menginkan Penjabat Gubernur Papua itu adalah Orang Asli Papua (OAP). Maka penunjukan Penjabat Gubernur di Papua itu tidak boleh hanya menggunakan mekanisme TPA tunggal.
Presiden Jokowi diminta untuk tidak hanya menggunakan mekanisme formal dalam memutuskan Penjabat Gubernur Papua.
Sebagai induk dan puncak dari semua dinamika politik, maka Provinsi Papua harus ditangani dengan pendekatan khusus.
Maka kekhususan penanganan Papua harus menjadikan OAP sebagai syarat utama dan pertama (mutlak) dalam penentuan Penjabat Gubernur.
Saat ini OAP yang menduduki JPT Madya dan masuk dalam nominasi calon Penjabat Gubernur Papua adalah Amzal Yoel (JPT Madya di Kementerian Agama RI) dan Anthonius Ayorbaba (JPT Madya Kementerian Hukum dan HAM RI). Kedua nama tersebut, selain OAP, pasti memiliki kemampuan dalam memimpin Papua menghadapi Pemilu 2024 hingga Pilkada Serentak 2024.
Stop manuver politik para makelar
Kongres Rakyat Nasional (Kornas) sebagai wadah berhimpun dan berjuang rakyat dalam mewujudkan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia menyampaikan pandangan dan sikap sebagai berikut:
Pertama, bahwa sumber informasi terkait Penjabat Gubernur seharusnya Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, bukan Ngabalin.
Pratikno memiliki kewenangan mengurus penerbitan Keppres tentang pengangkatan nama- nama dalam posisi Penjabat Gubernur yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi.
Selain Presiden Jokowi dan Pratikno tidak ada orang yang berhak mengumumkan hasil TPA.
Kedua, bahwa nama- nama calon Penjabat Gubernur dari aparat TNI dan Polri (bukan ASN) harus dipastikan belum pensiun (purnawirawan).
Maka status aktifnya sebagai aparat harus dikonfirmasi ke biro SDM TNI dan Polri. Jika sudah menjadi ASN baik yang organik maupun alih status, maka harus dikonfirmasi kepada BKN untuk memastikan usia pensiun dan posisi JPT Madya saat diangkat sebagai Penjabat Gubernur.
Ketiga, Ngabalin tidak memiliki kewenangan dalam menyampaikan hasil sidang TPA ke publik. Maka tindakan Ngabalin merupakan pelanggaran serius yang dapat memicu dan memacu polemik di tengah masyarakat.
Maka Moeldoko sebagai pimpinan dari Ngabalin diminta untuk mencopot dan memecat Ngabalin.
Keempat, bahwa penyampaian nama- nama Penjabat Gubernur ke publik mendahului Keppres diduga terkait dengan manuver dari para makelar politik yang bekerja untuk kepentingan politik kelompok dan golongan tertentu.
Penyampaian informasi hanya berdasarkan hasil sidang TPA diduga berkaitan dengan pembangunan dan penggiringan opini publik sekaligus aksi “test the water” untuk kepentingan politik tertentu.
Kelima, bahwa Presiden Jokowi diminta untuk tidak menjadikan hasil sidang TPA sebagai mekanisme tunggal dalam penentuan Penjabat Gubernur.
Kelompok politik pragmatis diduga terlibat dalam proses penentuan sejumlah nama yang telah diumumkan Ngabalin, baik dalam proses awal hingga di sidang TPA.
Keenam, bahwa Indonesia saat ini dalam kondisi yang aman, tenteram, dan damai. Sehingga tidak ada hal ikhwal kegentingan yang memaksa untuk mengangkat aparat TNI dan Polri aktif sebagai Penjabat Gubernur.
Sebagai pemimpin sipil, maka Penjabat Gubernur harus ASN atau aparatur negara non ASN yang telah alih status menjadi ASN.
Alih status dari aparat TNI dan Polri menjadi ASN tidak dapat dilakukan hanya untuk kepentingan tunggal karena posisi Penjabat Gubernur.
Ketujuh, bahwa munculnya nama- nama aparat TNI dan Polri aktif tanpa alih status menjadi ASN tidak memenuhi syarat. Meski aparat TNI dan Polri adalah aparat negara, tetapi tidak masuk kategori ASN.
Maka semua Penjabat Gubernur harus ASN (mutlak). Latar belakang Mendagri diduga berkaitan dengan nama-nama yang dibocorkan Ngabalin untuk kepentingan tertentu.
Kedelapan, bahwa munculnya nama- nama aparat TNI dan Polri dalam jabatan sipil Penjabat Gubernur diduga berkaitan dengan kepentingan politik dan aktivasi dwifungsi TNI dan Polri.
Tindakan tersebut berbahaya dalam rangka proses demokrasi. Aparat TNI dan Polri yang ingin maju sebagai kepala daerah saja harus mundur dan menjadi warga sipil baru berhak mendaftar sebagai calon kepala daerah.
Kornas akan terus mengawal proses demokrasi demi terwujudnya supremasi sipil sebagai salah satu tuntutan reformasi 1998.
Kornas akan tetap konsisten memperjuangkan tuntutan reformasi untuk mencabut seluruh bentuk dwifungsi TNI dan Polri meski sebagian besar aktivis 1998 saat ini hanya sibuk dalam aksi berebut remah-remah kekuasaan.
Penulis, Sutrisno Pangaribuan, Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas). Masuk Kuliah di Teknik Kimia USU Medan Tahun 1996 (bukan Aktivis 98).