Oleh | Dedi Handoko
DI tengah hiruk pikuk fufufafa, mari kita tetap siaga. Krisis ekonomi yang lebih parah daripada krisis 1997/1998 bisa saja terjadi.
Bank Dunia boleh saja membuat prediksi yang cukup menghibur awal bulan ini (Oktober 2024). Tapi minggu ini ada kabar yang membuat geram: penerimaan negara dari sawit bocor dan raib!
Ini jenis kebocoran yang terjadi “di depan mata”. Tapi di samping itu ada lagi jenis kebocoran yang sering tidak kita sadari, yaitu kebocoran yang terjadi “di belakang mata”.
BPS mencatat nilai investasi kita naik drastis setelah terbitnya UU Cipta Kerja. Dibandingkan 3 tahun lalu sebelum penerbitannya; nilai investasi kita sekarang naik 74,6%. Bravo!
Dedi Handoko, kelima dari kiri, di acara Muswil VIII PBHI Sumut
Tidak membawa kemakmuran
Masalahnya, naiknya nilai investasi ini babar blas tidak membawa kemakmuran bagi rakyat, karena;
1. Data LPS: tabungan rata-rata masyarakat terus turun dari Rp3 juta di tahun 2019 menjadi Rp1,4 juta di tahun 2024.
Artinya, makin banyak orang “mantab” alias makan tabungan;
2. Data Kemnaker: angka PHK tahun 2023 naik 28% di tahun 2024. Artinya, makin banyak pengangguran;
3. Data Pegadaian: laba Pegadaian naik 37,9% dari tahun 2023 ke tahun 2024, omset naik 21,2% dari tahun 2023 ke tahun 2024.
Artinya, makin banyak orang kepepet dan menggadaikan barang;
4. Data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI): penjualan mobil Januari-Juli 2024 turun 17,49%, dan penjualan Agustus turun lagi sebesar 4,1%. Penjualan sepeda motor bulan Juli 2024 sebesar 598.901 unit, turun menjadi 573.886 unit di bulan Agustus 2024.
Artinya, makin banyak orang yang tidak sanggup lagi untuk membeli mobil dan sepeda motor;
5. Data BPS: jumlah kelas menengah di Indonesia terus turun. Tahun 2019 ada sekitar 57 juta orang (21% dari populasi), sedangkan di tahun 2024 turun menjadi 47 juta orang (17% dari populasi).
Artinya, makin banyak orang yang jatuh miskin.
6. Data CNBC Indonesia dan BPS: deflasi sudah berjalan selama lima bulan secara beruntun mulai Mei hingga September 2024. Mirip dengan kondisi akibat krisis 1997/1998. Indeks Harga Konsumen (IHK) pada September 2024 mengalami deflasi bulanan sebesar 0,12%.
Ironis! Lari ke mana semua limpahan uang dari investasi itu?
Memang negeri ini benar – benar berantakan gegara dikelola dengan gaya preman dari wangsa neoliberal.
Duit dari sawit bocor dan raib… ini adalah gaya preman. Investasi naik, tapi kesejahteraan rakyat jeblok… ini adalah gaya neoliberal.
Pasal 33 UUD 1945 itu cuma formalitas yang ditempelkan di berbagai peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi.
Jadi, wong cilik tidak usah ngarep bisa dapat keuntungan besar dari kegiatan investasi.
Itulah neoliberal. UU Cipta Kerja memang diterbitkan untuk memastikan bahwa investasi (modal) bisa bebas bergerak tanpa hambatan apapun; dia diterbitkan untuk memastikan bahwa the invisible hand dalam pasar bebas yang dimaksud Adam Smith itu bekerja secara efektif.
Bisa lebih sadis
Untunglah Mulyono tidak jadi berkuasa untuk 3 periode. Kalau sempat jadi, sah sudah, tahun 2025 bakal ada Mulyonoism atau Mulyonomics seperti Thacherism atau Reaganomics di akhir tahun 70-an dan 80-an dulu karena mereka berdua (Margaret Thatcher dan Ronald Reagan) ikut resep neoliberalisme-nya the Chicago School yang digagas F. A. Hayek dan Milton Friedman.
Bahkan rezim Mulyono bisa lebih sadis daripada itu, karena di samping ikut resepnya the Chicago School, dia masih menyempatkan diri melakukan manuver untuk memaksakan anaknya yang masih di bawah umur maju menjadi cawapres, lalu bagi-bagi lahan tambang ke ormas-ormas keagamaan, dan lain-lain… dan kabar teranyar adalah mbocorin uang negara dari sawit.
Kita masyarakat kecil tentu berharap, semoga pemimpin yang akan datang punya komitmen untuk melaksanakan Pasal 33 UUD 1945, meminjam istilahnya Soeharto, secara murni dan konsekuen: perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Jadi sistem ekonomi kita ini bukan liberal-kapitalistik (neoliberal) dan bukan pula serba ada di bawah kontrol negara atau etatistik… sistem ekonomi kita mutualism dan brotherhood; rakyat harus benar-benar berdaulat di bidang ekonomi dengan menguasai cabang-cabang produksi yang penting dan menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dengan demikian tidak akan ada lagi kabar soal duit dari sawit yang bocor dan raib entah ke mana.
Dum vita est, spes est…
Kebumen, 10 Oktober 2024
Penulis, Dedi Handoko, adalah Majelis Nasional PBHI