PEMATANGSIANTAR — SEGARIS.CO — SESEPUH etnis Jawa Kabupaten Simalungun, NGATIDJAN TOHA — mantan Ketua PPP Simalungun, pernah Wakil Ketua dan anggota DPRD Simalungun — menyebutkan, agar masyarakat yang memiliki hak pilih dan sudah masuk dalam daftar pemilih tetap [DPT] di Kabupaten Simalungun pada hari H 27 November 2024, untuk menetapkan pilihannya kepada calon pemimpin yang menghargai, bukan yang membutuhkan.
Hal tersebut disampaikan Ngatidjan Toha secara khusus kepada Segaris.co di Jalan Melanthon Siregar, Kota Pematangsiantar, Kamis (05/09/2024).
Pernyataan itu juga disebutkan Ngatidjan Toha, terkait pasca batalnya surat keputusan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri yang menunjuk kader PDIP, Herry Chandra sebagai calon wakil bupati di Pilkada Kabupaten Simalungun.
Aduan dugaan ijazah palsu anggota DPRD Pematangsiantar masih tertahan di Polda Sumut
Membicarakan masalah yang dihadapi Herry Chandra, Ngatidjan Toha menyampaikan dua filosofi Jawa, yakni: Tego larane neng ora tego patine (Kita masih bisa diam melihat orang teraniaya, tapi kita tidak bisa diam melihat kematiannya), dan Dudu sanak Dudu kadang yen mati Melu kelangan (Bukan saudara, bukan teman, tapi klo meninggal kita ikut kehilangan).
“Kedua filsofi tersebut menunjukkan betapa kuatnya hubungan kekerabatan yang menjunjung tinggi nilai solidaritas, senasib sepenanggungan, terhadap sesama,sepanjang itu bernilai positif dan tidak melanggar hukum,” kata Ngatidjan Toha.
Dinaikkan kemudian dijatuhkan
Kuatnya hubungan kekerabatan itulah, yang disebutkan Ngatidjan Toha sebagai alat dorong menunjukkan rasa keprihatinan sesama etnis Jawa terhadap apa yang dialami langsung oleh Herry Chandra di pusaran politik Pilkada Kabupaten Simalungun yang akan digelar.pada 27 November 2024.
Menurut Ngatidjan Toha, bahwa Herry Chandra, mendapatkan proses politik yang sangat memprihatinkan, dimana dianya yang sudah dinaikan pada ketinggian di 14 Agustus, dalam waktu singkat, 12 hari, dijatuhkan.
“Ketika diumumkan bahwa Herry Chandra menjadi Wakil Bupati, Putra Jawa yang berkedudukan di Sumatera, secara.khusus Kabupaten Simalungun, merasa sangat gembira karena Herry Chandra menjadi simbol keterwakilan etnis Jawa dalam pemerintahan. Artinya, Herry Chandra akan menjadi ikon dimana etnis Jawa tidak lagi berada pada tataran objek, tetapi sudah menjadi subjek,” kata Ngatidjan Toha.
Menurut Ngatidjan Toha, jika akhirnya harus dijatuhkan, ya sebaiknya sejak awal tidak perlu diajukan, karena dampaknya kan tidak hanya kepada Herry Chandra saja.
Value, dibutuhkan dan dihargai
Ngatidjan Toha menyebutkan, bahwa dalam sosial kemasyarakatan, setiap orang memiliki value [nilai-nilai] yang dibungkus dengan apa yang disebut akhlak, etika dan moral.
“Ketika akhlak, etika dan moral kita sudah tidak ada, itu artinya kita sudah tidak memiliki apa-apa,” kata Ngatijan Toha dalam bincang-bincang dengan Segaris.co Kamis [05/09/2024]
Akhlak, etika dan moral itu menurut Ngatidjan Toha, adalah perekat bagi setiap orang dalam menghormati value [nilai-nilai] orang lain.
Ada dua hal yang disebut dalam kaitan value, yang dibutuhkan dan dihargai.
Dibutuhkan, katanya, hanya sampai batas kesepakatan, dan tiba batas waktu, tidak adalagi hubungan apa pun.
“DIHARGAI, adalah value tertinggi dan terhormat, adanya hubungan yang berkelanjutan dan yang dihargai mendapatkan kedudukan terhormat,” kata Ngatidjan Toha.
Dalam konteks Pilkada Simalungun yang akan memasuki tahapan penetapan calon bupati dan wakil bupati, apa yang terjadi pada Herry Chandra — Ketua DPD PKB Pujakesuma dan Wakil Ketua DPC PDIP Simalungun — menurut Ngatidjan Toha, berada di posisi tidak dibutuhkan dan tidak dihargai.
“Untuk itulah, saya mengimbau, dalam memilih calon pemimpin lima tahun ke depan, adalah menghargai, di dalamnya juga etnis Jawa,” kata Ngatidjan Toha yang menggambarkan bahwa populasi etnis Jawa di Simalungun sudah pada kisaran 40% dari jumlah penduduk Simalungun.
Ngatidjan Toha menggambarkan sudah tidak relevan lagi, jika etnis Jawa hanya diposisikan pada sebutan “makanan yang dihidangkan untuk santapan”.
“Etnis Jawa, populasi terbesar, sama dengan etnis lainnya memenuhi kewajiban dan menerima hak, termasuk hak politik. Ya, Herry Chandra adalah momentum perekat yang diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang memilih pemimpin yang menghargai etnis Jawa secara khusus, bukan pemimpin yang sebatas kebutuhan,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Ngatidjan Toha, juga sudah bertemu dan berdialog dengan Sabar MANGADOE Tambunan, inisiator dan pendiri MSB Indonesia Network. [Ingot Simangunsong/***]