Oleh | Sutrisno Pangaribuan
BERDASARKAN data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2023, komposisi penduduk Sumatera Utara (Sumut) berdasarkan agama yang dianut sebagai berikut: Islam (62,77%), Kristen (34, 36%; Protestan: 26,92%, Katolik: 7,44%), Budha (2,58%), Konghucu (0,18%), Hindu (0,11%), Parmalim dan lainnya (0,01%).
Data tersebut tentu mengalami perubahan saat ini, namun tetap dapat dijadikan sebagai rujukan.
Demokrasi dengan sistem perwakilan di Indonesia tentu tidak dapat dipisahkan dari struktur dan komposisi masyarakat.
Amerika Serikat sebagai salah satu negara demokrasi tertua pun tidak pernah lepas dari politik representasi (bukan politik identitas).
Maka kelompok masyarakat yang banyak, harus diwakili orang banyak juga (representatif). Namun pada titik tertentu, demi memenuhi kesetaraan dan keterwakilan, mayoritas dapat “mengalah” kepada minoritas.
Sebagai satu-satunya partai nasionalis di Indonesia, maka PDI Perjuangan (PDIP) ada dalam kesadaran itu.
Sehingga PDIP pasti dan wajib mewujudkannya dalam setiap kontestasi demokrasi. Cagub dan Cawagub Sumut pasti mengakomodasi pluralitas masyarakat.
Edy Rahmayadi (Cagub: Surat Tugas) mewakili kelompok (62,77 %), maka Cawagubnya harus mewakili kelompok (37,23%). Edy mewakili pantai timur, maka Cawagubnya harus mewakili pantai barat, kawasan danau Toba, dan dataran tinggi.
Dengan hanya dua pasangan calon, maka pasangan yang bersedia merangkul kelompok (37,23%) lah yang menang. Maka jika ingin menang, tidak ada rumus lain bagi PDIP selain memastikan bahwa Pilgub 2024, Edy Rahmayadi dipasangkan dengan politisi sipil dari kelompok (37,23%).
Jika ngotot dengan rasionalisasi “hasil survei”, bahwa Cawagub Edy harus dari kelompok (62,77%) juga, maka pasti akan kalah.
Sebab jika tidak ada Cawagub dari kelompok (37,23%), maka kelompok ini mungkin akan tidak akan memilih (golput) atau mengalihkan suara kepada lawan.
Maka pasangan Cagub dan Cawagub “pelangi” yang selalu diusung PDIP adalah yang terbaik di Sumut. Meski pasangan pelangi (Tritamtomo- Benny Pasaribu: 2008), (Effendy Simbolon- Djumiran Abdi: 2013), dan (Djarot Saiful Hidayat- Sihar Sitorus: 2018) kalah, namun di Pilgubsu 2024 pasti menang.
PDIP hanya perlu mencari sosok yang memiliki akar yang kuat, memiliki komunitas basis yang solid, dan dapat diterima oleh orang tua dan anak muda kelompok (37,23%).
Selain pemilihan Cawagub representatif, maka PDIP perlu membangun tim pemenangan (kampanye) yang kuat. Para pemain tua yang terbukti gagal (2008, 2013, dan 2018) sebaiknya jadi penasihat. Kita butuh panglima “perang” yang handal, organisator yang ulung, ahli strategi yang mumpuni, yang mampu memimpin dan menggerakkan semua lini.
Pemimpin yang memiliki latar belakang organisasi yang kuat, jejaring yang luas. Pemimpin yang tidak pernah terlibat dalam perbuatan tercela, dan melukai hati rakyat seperti korupsi, narkoba, ilegal logging, rentenir, judi, dan perdagangan hewan pun manusia.
Dengan demikian, Pilgub Sumut akan menarik dan dapat dijadikan role model oleh PDIP. Pilgub Sumut dirancang bukan untuk sekedar mengalahkan “kekuasaan”.
Pilgub Sumut adalah pertarungan untuk memenangkan rakyat, menang dari rasa takut dan intimidasi.
Menang dari abuse of power, penyalahgunaan hibah, dan bantuan sosial (bansos). Bebas dari penyalahgunaan perangkat dan alat kekuasaan.
Merdeka dari sandera politik dan hukum, sehingga rakyat berdaulat, melalui suara yang diberikan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia di TPS. Rakyat menang bersama PDIP, Satyam Eva Jayate, Merdeka!
Penulis, Sutrisno Pangaribuan, adalah Kader PDIP dan Presidium Satgas Anti Kecurangan Pilkada