JAKARTA – SEGARIS.CO – PARA PEKERJA pabrik tekstil di Indonesia yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak hanya kehilangan pekerjaan dan sumber pendapatan, juga menghadapi ketidakjelasan dalam pembayaran pesangon.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, mengungkapkan bahwa ribuan pekerja pabrik tekstil hingga kini belum menerima pesangon atau menerima pembayaran yang jauh di bawah ketentuan yang berlaku.
“Nasib pekerja di industri TPT (tekstil dan produk tekstil) yang terkena PHK sangat berat. Ada yang harus berjuang hingga sembilan tahun namun hak pesangonnya belum terselesaikan,” kata Ristadi, Kamis (13/6/2024).
Ia menambahkan bahwa tidak semua pabrik langsung membayarkan pesangon ketika terjadi PHK atau penutupan pabrik.
“Perusahaan yang berorientasi ekspor atau mengerjakan merek internasional biasanya lebih cepat menyelesaikan pesangon. Namun, ada juga perusahaan yang negosiasi dengan pekerja atau serikat pekerja dan akhirnya tidak mencapai kesepakatan,” jelasnya.
Ristadi menjelaskan bahwa terdapat dua karakter perusahaan dalam hal pembayaran pesangon di industri TPT RI. Pertama, perusahaan skala besar, publik, berorientasi ekspor, atau mengerjakan produk merek internasional, yang biasanya menyelesaikan proses pesangon sesuai ketentuan.
“Perusahaan-perusahaan tipe ini biasanya tunduk pada peraturan dan langsung menyelesaikan urusan PHK segera,” tambahnya.
Sebaliknya, ada perusahaan yang enggan menyelesaikan kewajibannya. Perusahaan-perusahaan ini biasanya berorientasi pasar domestik, milik keluarga, dan swasta non-Tbk.
“Perusahaan-perusahaan ini cenderung menunda pembayaran pesangon, mengaku memiliki banyak utang, dan terbebani biaya besar lainnya,” kata Ristadi.
Sebagai contoh, di PT Sai Apparel dan grup Sritex, urusan pesangon sudah diselesaikan.
“Sai Apparel yang berorientasi ekspor dan mengerjakan produk brand internasional langsung menyelesaikan pesangon pekerja yang terkena PHK. Di Sritex, efisiensi dilakukan dengan PHK, bukan penutupan, dan mereka segera menyelesaikan pembayaran pesangon,” paparnya.
Namun, hampir 80% perusahaan tekstil yang berorientasi lokal, milik keluarga, dan bukan Tbk, mengalami masalah dalam pembayaran pesangon.
“Perusahaan-perusahaan ini mengaku memiliki utang di berbagai tempat. Negosiasi dengan pekerja berlangsung lama, membuat situasi semakin sulit bagi pekerja industri TPT yang terkena PHK,” ujarnya.
Ristadi juga menyoroti nasib pekerja di PT Natatex di Sumedang, Jawa Barat.
“Kami mendampingi perjuangan pesangon pekerja di PT Natatex, di mana ada sekitar 500 pekerja yang hak pesangonnya belum diselesaikan sejak tahun 2014. Meskipun sudah menang di Pengadilan Hubungan Industrial dan Mahkamah Agung, hingga kini aset yang dilelang, termasuk tanah, bangunan, dan mesin, belum juga laku,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa nasib serupa dialami oleh pekerja di PT Tyfountex Indonesia di Kartasura, Sukoharjo, yang hanya menerima pesangon di bawah ketentuan, setara 3-4 bulan gaji. Sementara itu, PT Dupantex yang baru-baru ini melakukan PHK juga belum menyelesaikan urusan pesangonnya.
“Perusahaan masih dalam proses penawaran dengan serikat pekerja namun belum ada kepastian berapa yang akan diberikan. PT Pismatex, yang mem-PHK sekitar 1.700 pekerja, juga belum menyelesaikan urusan pesangon meskipun sudah berjalan dua tahun. Situasi ini sangat memprihatinkan,” kata Ristadi. [RE/***]