JAKARTA – SEGARIS.CO – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menggelar pertemuan dengan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie, di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, pada Senin (26/02/2024).
Jimly tiba di kantor tersebut sekitar pukul 16.51 WIB dan diterima langsung oleh Airlangga. Pertemuan antara keduanya berlangsung hingga pukul 17.35 WIB.
Setelah pertemuan, Jimly menyatakan bahwa dirinya dipanggil oleh Airlangga untuk berdiskusi mengenai berbagai hal terkait ketatanegaraan, termasuk masalah HAK ANGKET.
Terkait dengan hak angket, Jimly menyatakan bahwa ia telah berbicara kepada Airlangga untuk menerima ide tersebut, karena menurutnya hak angket merupakan bagian dari dinamika dalam demokrasi.
“Namun, harus diperhatikan agar penggunaan hak angket ini tidak disalahgunakan dan terarah, jika tidak, hal ini bisa mengarah ke arah yang tidak diinginkan. Saya mengapresiasi penggunaan hak angket dalam catatan sejarah pemerintahan Jokowi,” tegasnya.
TRAGEDI Pemilu 2024: 30 pengawas, 60 KPPS dan 30 petugas TPS meninggal
Meski pun demikian, Jimly menegaskan bahwa penggunaan hak angket ini tidak akan sampai pada proses pemakzulan atau impeachment terhadap presiden dan wakil presiden terpilih pada 2024 yang akan menggantikan Presiden Jokowi.
“Impeachement adalah pernyataan pendapat yang mekanismenya berbeda dengan hak angket. Hak angket merupakan bagian dari dinamika demokrasi yang telah lama ada dan merupakan hak DPR,” jelas Jimly.
Jimly juga menambahkan bahwa hak angket hanya akan digunakan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran dalam Pemilu atau Pilpres 2024, yang dapat berujung pada penemuan pelanggaran hukum, termasuk pelanggaran pidana.
“Dalam hal ini, lembaga yang bertanggung jawab adalah aparat penegak hukum. Oleh karena itu, penggunaan hak angket harus disertai dengan bukti yang kuat dan relevan,” ucap Jimly.
Jimly juga menekankan bahwa hasil pemilihan umum, termasuk berapa jumlah suara dan siapa yang berhak duduk di kursi objek perkara di MK, bukan merupakan kewenangan dari hak angket, tetapi merupakan tanggung jawab panitia pemilihan umum di DPR.
“Keterlibatan pemerintah dalam pemilihan umum terbatas pada tanggung jawabnya dalam memfasilitasi penyelenggaraan pemilihan umum, seperti penerbitan UU Pemilu, pengaturan anggaran dalam APBN, serta pembentukan struktur dan regulasi pemilu,” papar Jimly.
Terakhir, Jimly mengakui bahwa dugaan pelanggaran dalam Pemilu 2024 memang banyak, namun untuk membuktikan apakah pelanggaran tersebut terstruktur, sistematis, dan massif memerlukan penyelidikan yang teliti.
“Kemungkinan besar terjadi pelanggaran yang massif, namun untuk membuktikan apakah pelanggaran itu terstruktur, sistematis, dan massif memerlukan analisis fakta yang komprehensif,” ucap Jimly. [RE/***]