Oleh | Ingot Simangunsong
SEORANG teman – dari lingkungan akademisi – memasuki ruang “panggung politik,” melalui rumah partai politik yang lahir dari rahim era reformasi.
Sukses teman itu. Meraih salah satu dari 50 kursi anggota dewan yang terhormat. Menjadi salah seorang dari ratusan orang yang mengisi ruang-ruang di gedung mewah yang dilengkapi fasilitas wah dan satu mobil dinas.
Tampilan teman itu pun berubah jauh. Jas harga mahal. Sepatu, apalagi. Jam tangan rolex, dan dari tubuhnya menghambur aroma parfum yang berkelas.
Sah-sah saja, wakil rakyat harus tampil mentereng ditambah kemampuan cernah otak yang berkualitas.
Tampilan menunjukkan kelas, dan seberapa tinggi selera teman itu, terhadap pola hidup konsumtif. Karena, tampilan berdampak pada nilai tawar dan transaksional yang begitu menggiurkan, ketika para wakil rakyat sudah masuk dalam pembagian komisi.
Ya… teman itu sudah jauh berubah. Kami menyebutnya, parlentenya parlemen, walau sedikit kaku, karena dia berasal dari bonapasogit (kampung yang jauh dari Kota Medan).
*****
Perubahan, sudah pasti terjadi. Terutama terkait pola hidup, karena fasilitas sangat mendukung.
Yang sangat sulit dipahami, adalah ketika teman itu, mulai memerani lakon berpura-pura. Semua serba pura-pura.
Pura-pura tidak memahami permainan patgulipat. Pura-pura tidak menguasai bagaimana sebuah peraturan daerah dibahas untuk kepentingan kelompok tertentu. Pura-pura tidak terlibat dalam gerakan suksesi mengantar seorang tokoh menjadi kepala daerah.
Kami menyebut teman itu, sosok wakil rakyat yang sudah memiliki seribu topeng atau seribu wajah. Bukan bunglon, sebab warna kulitnya tak berubah karena menyesuaikan diri dengan keadaan.
KORUPSI Menkominfo, kerugian negara mencapai Rp 8,32 triliun
Seribu topeng itu untuk menutupi ekspresi wajah, sehingga tampilannya seakan-akan lugu, seakan-akan tak terlibat dan seakan-akan bersih lingkungan.
Padahal, sejatinya teman itu, adalah sudah menjelma sebagai drakula, penyamun, dan sekelas bromocorah. Hanya saja, dirinya sudah lolos BIMTEK olah mengolah raut (ekspresi) wajah.
*****
Politik itu dinamis, kita oke kan saja. Tetapi prilaku politisi — yang teman itu — kedinamisannya sungguh memuakkan dan menjijikkan.
Ketidaksepadanan antara kepura-puraan dengan perubahan tingkat pendapatan dengan pola konsumtif tinggi, menjadi alat picu dan pacu adrenalin untuk membelalakkan hati nuraninya.
Keakademisiannya perlu disentuh kembali. Agar kesadarannya sebagai wakil rakyat yang terhormat, memang benar-benar terhormat. Karena, kalkulasi pendapatan harus berbanding manusiawi dengan tampilan.
Artinya, dirinya jangan berbanding jauh layaknya antara langit dan bumi dengan rakyat yang mengantarkannya sampai bisa menduduki kursi dewan yang terhormat.
Mulailah “menguliti” teman itu, dengan data yang dapat menyadarkannya. Kita mulai dengan mengingatkan, saat berjuang, dia hanya memiliki sepedamotor, kemudian berubah drastis.
Sudah punya mobil. Sudah punya rumah di lingkungan elit. Sudah punya aset pertapakan tanah di beberapa tempat. Bahkan sudah punya rumah kontrakan dan kos-kosan.
Kepura-puraannya harus dihentikan. Seribu topengnya harus diberangus, dan harus tampil dengan wajah originil.
Itu pun kalau teman itu masih punya hati dan rasa hormat pada dirinya sendiri. Atau memang sudah siap berurusan dengan aparat hukum, menjadi penghuni rumah tahanan atau penjara.
Atau dirinya sudah terkontaminasi alur pikir bahwa para pendahulunya, demikian santai sembari tersenyum saat diborgol dan ditetapkan sebagai tersangka korupsi.
Sebagai teman, tugas kita sebatas mengingatkan. Soal mau melakukan perubahan atau back to basic, tergantung bagaimana dirinya mengelola “birahi keserakahannya.”
(Kisah teman itu, berakhir happy ending. Ketika kepala daerah itu terjerat kasus korupsi dan dipenjarakan, nama teman itu tidak terseret atau terbawa. Kini, dia sudah mendapatkan gelar akademi doktor. Kesialan tidak menyentuh kepura-puraannya.)
Penulis, Ingot Simangunsong, pimpinan redaksi mediaonline segaris.co