Oleh | Sutrisno Pangaribuan
SEJAK Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo dilantik jadi Walikota Solo (26/2/2021), ada 25 dari 34 menteri anggota Kabinet Indonesia Maju yang hilir mudik ke Solo.
Sementara sisanya (9) menteri, datang saat menghadiri acara pernikahan anak bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep dengan istrinya Erina Gudono.
Gibran akhirnya sibuk dengan berbagai kegiatan yang membuatnya menjadi pusat perhatian. Sejumlah tawaran politik pun mengalir, dari Cagub Jawa Tengah, Cagub DKI Jakarta, hingga Cawapres mendampingi Prabowo Subianto.
Bahkan adiknya, Kaesang Pangarep juga kecipratan tawaran politik, sebagai balon Wali Kota Depok Jawa Barat. Saat ini sejumlah baliho dengan gambar wajah Kaesang dengan lambang PSI bertebaran di Kota Depok.
Adik ipar Gibran, suami dari Kahiyang Ayu, Bobby Afif Nasution, juga mendapat durian runtuh. Sejak menjadi Wali Kota Medan, Sumatera Utara, menumbangkan walikota petahana, Akhyar Nasution, kader PDI-P yang dipecat.
Menantu Presiden Jokowi tersebut juga rutin dikunjungi para menteri, meski tak sebanyak ke Solo. Bahkan dalam satu kesempatan, sang ketua Al Nahyan, putra Bobby-Kahiyang, turut menjadi sorotan. Al Nahyan asyik berjoget saat Prabowo berpidato didampingi ayahnya.
Beberapa hari yang lalu (21/05/2023), kita baru saja kita memeringati 25 tahun pengunduran diri Soeharto, Presiden RI kedua.
Peristiwa itu disebut sebagai babak baru, yakni, reformasi. Dari enam tuntutan reformasi, setidaknya ada dua tuntutan yang harus kita koreksi kepada siapa pun Presiden RI, termasuk Presiden Jokowi.
Kedua tuntutan tersebut adalah: PERTAMA, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan KEDUA, pengadilan mantan presiden Soeharto dan kroninya.
Maka Presiden Joko Widodo, keluarga, dan kerabat, serta kroni-kroninya harus menghindari praktik KKN dalam tata kelola pemerintahan.
Sebab salah satu alasan paling besar rakyat memilih Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019 adalah karena Jokowi “orang biasa.”
Gibran dan Bobby dipilih oleh warga Solo dan Medan juga semata-mata karena keduanya anak dan menantu Jokowi dan keduanya diyakini sebagai “duplikat Jokowi”.
Maka meskipun keduanya kini terlibat dalam tata kelola pemerintahan, rakyat tetap berharap agar keduanya tetap meneladani Jokowi.
Setelah 25 tahun reformasi, kita baru sadar bahwa sesungguhnya kita masih berjalan berputar-putar. Reformasi berhasil memaksa dwifungsi ABRI diakhiri, tetapi saat ini kita membiarkan para TNI dan Polri aktif menduduki jabatan-jabatan sipil di kementerian/lembaga.
Parpol yang kita harapkan menjadi milik publik, kini hanya dikuasai sekelompok orang, yakni, orang tua, anak, saudara, dan keluarga.
Hak untuk menentukan masa depan Indonesia tetap saja di tangan sekelompok orang. Sutradara dan aktornya juga tidak banyak berubah. Sentralisasi yang kita tentang juga kini justru sudah kembali dan menguat.
Pengakuan Gibran pasca “wedangan politik” dengan Prabowo, sebagai “anak kecil” menjadi menarik kita dalami dalam dinamika politik menjelang Pemilu 2024.
Kongres Rakyat Nasional (Kornas) rekan juang politik Jokowi sejak 2014 dan kini berjuang bersama Ganjar Pranowo menyampaikan pandangan sebagai berikut:
PERTAMA, bahwa aksi “cari muka” elit politik nasional kepada Presiden Jokowi melalaui Gibran, Bobby, Kaesang menjadi bukti bahwa elit politik sesungguhnya tidak memiliki ide, gagasan, program untuk ditawarkan kepada publik.
Tidak ada figur yang memiliki pengaruh yang kuat, sehingga semua butuh “endorse” Jokowi. Semakin dekat ke Jokowi dan keluarganya, semakin yakin mendapatkan dukungan publik.
KEDUA, sebagai “anak kecil”, Gibran, Bobby, dan Kaesang akhirnya “matang” sebelum waktunya. Gibran saat ini lebih banyak dibebani urusan politik nasional daripada urusan Solo.
Setiap kali Gibran bertemu wartawan, topik yang dibahas justru berkaitan dengan Pilpres. Elit politik bertanggung jawab atas beban berat yang dipikul Gibran saat ini. Gibran yang seharusnya fokus urus Solo, kini terpaksa membagi waktu dan pikiran mengurus elit politik nasional dan para Capres.
Proyek Rp22,7 M lebih di Samosir ASAL JADI, Pejabat BWS Sumatera II Kementerian PUPR SULIT DITEMUI
KETIGA, bahwa elit politik secara nyata memanfaatkan sekaligus mengeksploitasi Gibran dan adik-adiknya dalam memeroleh perhatian Jokowi dan relawannya.
Kepolosan, keramahan, keterbukaan Gibran justru dimanfaatkan elit politik untuk meraih simpati publik. Sadar dimanfaatkan elit politik, membuat Gibran akhirnya memanfaatkan kegenitan para elit politik “penggemar” Gibran.
Maka meski mengaku sebagai “anak kecil”, tidak sedang “bermanuver”, Gibran berhasil menjadikan dirinya menjadi pusat negosiasi politik nasional melampaui bapaknya Jokowi. Anies Baswedan yang disebut sebagai antitesa Jokowi saja secara khusus mendatangi Gibran, bukan Jokowi.
KEEMPAT, bahwa kelakuan elit politik membuat Gibran akhirnya berselancar dan menikmati dinamika politik nasional. Sehingga meski pun sesama kader PDI-P bersama Jokowi, Ganjar, Gibran hingga kini justru memberi ruang terbuka kepada Prabowo dan Ganjar.
Gibran sedang mengirim pesan bahwa kini dirinya telah memiliki posisi dan kekuatan untuk melakukan negosiasi politik dengan siapa pun.
KELIMA, bahwa Pilpres sejatinya pertarungan ide, gagasan, dan program. Maka pendukung Ganjar Pranowo sebagai satu-satunya Capres yang akan melanjutkan program Jokowi, harus mulai menyampaikan konsepsi kepemimpinan, ide, gagasan, serta program.
Begitu juga dengan pendukung Anies Rasyid Baswedan sebagai Capres antitesa Jokowi. Hal yang sama harus disampaikan oleh pendukung Prabowo Subianto mau pun Airlangga Hartarto.
Sehingga rakyat disuguhi berbagai informasi yang semakin lengkap. Pertarungan ide, gagasan, program kepemimpinan akan membuat dinamika politik kita menarik, tidak sekedar wedangan, ngopi, atau makan nasi kebuli.
Kornas mengapresiasi Presiden Joko Widodo bersama pemerintah yang berkomitmen menyelenggarakan Pemilu 2024 dengan baik.
Kornas juga berkomitmen untuk mengawal Jokowi hingga 2024 sembari berjuang bersama Ganjar Pranowo membujuk dan meyakinkan rakyat.
Sebab jika rakyat ingin program yang saat ini sudah baik, maka Ganjar Pranowo lah satu-satunya Capres yang pasti akan melanjutkan seluruh program pembangunan yang sudah, dan sedang dikerjakan Presiden Joko Widodo.
Penulis, Sutrisno Pangaribuan, Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas).