Oleh | Dipl. Ing. Charles H. M. Siahaan, SH
PRO KONTRA terhadap sistem proporsional tertutup telah banyak bermunculan, utamanya dari kalangan Partai Politik. Disisi lain, publikasi kajian-kajian dari para ahli, peneliti dan/atau akademisi yang obyektif terkesan kurang hadir di tengah masyarakat.
Padahal praktek sistem pemilu sangat signifikan mempengaruhi sendi kehidupan bersama dalam Negara Bangsa Indonesia saat ini dan ke depan.
Sejak Desember 2022 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) bersidang untuk memutuskan permohonan uji materi atau “judicial review” atas Pasal 168 Ayat (2) UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang pada intinya mempersoalkan praktek sistem pemilu proporsional terbuka terhadap amanah konstitusi Pasal 22E Ayat (3) UUD NRI 1945.
Khususnya dalam mekanisme penentuan calon legislatif mulai tingkat daerah maupun tingkat pusat.
Menyulitkan bagi hakim MK
Menyimak persidangan di MK yang telah menghadirkan para pihak tampaknya akan menyulitkan bagi hakim MK untuk membuat putusan yang mampu mengakomodasi semua kepentingan dan sesuai kehendak konstitusi.
Hal ini mengingat tak ada satu norma pun (pasal, ayat, atau bagian dari ayat) di UUD 1945 yang mengatur mengenai sistem pemilu.
Artinya, secara perspektif norma hukum, sistem pemilu dapat dikatakan bukan merupakan konten yang bersifat konstitusional. Sehingga dapat diduga majelis hakim MK tentu tidak mudah merumuskan putusannya.
KORUPSI Menkominfo, kerugian negara mencapai Rp 8,32 triliun
Ditinjau dari proses persidangan yang telah menghadirkan aneka materi termasuk para ahli dan praktisi terkait sistem pemilu, baik yang mendukung sistem pemilu proporsional terbuka mau pun tertutup sama-sama memiliki argumentasi/dalil yang sangat kuat.
Oleh karenanya, niscaya perdebatan dilematis sampai dengan saat ini masih menyelimuti para hakim MK.
Ada pun fakta sosiologis yang merupakan salah satu faktor penentu adalah komposisi suara parpol di DPR yang ternyata pendukung proporsional tertutup hanya 1 parpol (PDI-P), selebihnya menolak.
Dalam hal ini, kami selaku Praktisi Hukum sekaligus pencinta Budaya dan Warisan Leluhur Indonesia yang tergabung bersama segenap rakyat semesta yang mengorganisir diri sejak tahun 2019 lalu dengan nama Dulur Ganjar Pranowo (DGP), meyakini bahwa kali ini majelis hakim MK akan mengeluarkan putusan yang berbasis kreativitas atas kewenangannya dengan mengacu tidak semata kepada norma konstitusi Pasal 22E Ayat (3) UUD NRI 1945 secara “aan sich” namun akan menggali secara utuh amanah konstitusi yang bermula dari semangat Pembukaan UUD NRI 1945 yang sangat kental berisikan roh dan jiwa mendasar Negara bangsa Indonesia.
Buntut proyek jalan provinsi Rp2,7 triliun, Kadis BMBK Sumut DICOPOT
Demikian halnya dengan sejumlah isi batang tubuh UUD NRI 1945 yang sejatinya dapat disimpulkan negara bangsa Indonesia adalah Negara demokrasi yang hadir dari rahim dan berakar pada budaya dan warisan leluhur yang adi luhung di nusantara.
Beranjak dari jati diri bangsa, yaitu Pancasila yang termuat dalam pembukaan UUD NRI 1945 dan keseluruhan isi batang tubuh UUD NRi 1945 yang pada intinya meyakini dan menjamin kesejahteraan dan kemajuan Indonesia sebagai negara bangsa, memilih sebagai negara demokrasi yang berakar pada nilai budaya dan kearifan warisan leluhur, maka secara sederhana dapat dipahami bahwa praktek berdemokrasi di Indonesia telah melekat roh dan jiwa serta watak yang jika diejawantahkan kedalam sistem pemilu adalah sistem pemilu proporsional tertutup.
Selain itu, semangat dibalik penetapan pemilu serentak yang salah satunya bersandar pada prinsip konstitusi yang menghendaki adanya efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan hak warga Negara untuk memilih secara cerdas.
GBNN akan laporkan bobroknya proyek Kementerian PUPR di Samosir
Pemilu haruslah mengembirakan
Dasar pertimbangan berikut adalah prinsip “Pemilu untuk manusia, bukan manusia untuk pemilu” yang dengan sendirinya, penyelenggaraan pemilu termasuk penyelenggaraan pemilu serentak tahun 2024 sebagai pesta demokrasi, sudah sepatutnya pemilu haruslah mengembirakan, demokratis, sehat dan bermartabat.
Tidak seperti yang berjalan belakangan ini, apalagi pada pemilu tahu 2019 yang memakan jiwa ratusan orang dari penyelenggara pemilu dan ribuan orang yang harus dirawat yang dengan sendirinya mempengaruhi kualitas kepastian dan kebenaran/keselarasan perhitungan rekapitulasi suara dari tingkat daerah sampai ke pusat.
Memang dalam perjalanannya, kita pernah memiliki pengalaman pahit dengan penerapan sistem pemilu proporsional tertutup sehingga serta merta hakim MK pun melalui putusannya pada perkara Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008, menyatakan sistem pemilu yang konstitusional adalah sistem pemilu proporsional terbuka dengan penentuan calon terpilih berdasarkansuara terbanyak.
Saling bertolak belakang
Faktanya dalam perjalanannya juga kita sama-sama telah melihat sejumlah fakta kelemahan penggunaan sistem pemilu proporsional terbuka, yang jika dibandingkan dengan sistem proporsional tertutup cukup memiliki perbedaan signifikan yang saling bertolak belakang.
Sekali pun sejumlah kelemahan dan pengalaman pahit penerapan sistem pemilu proporsional tertutup pada era ORBA , beberapa kelebihan sistem pemilu proporsional tertutup yang sangat signifikan antara lain:
- Praktek Politik Uang (Money Politic) dari para calon legislatif (caleg) yang masif tak terkendali;
- Tugas dan peran parpol yang merupakan konsekuensi Negara demokrasi lebih dalam melakukan kaderisasi sesuai ideologi dan gagasan visi/misinya dapat dituntut lebih besar. Sulit membayangkan praktek demokrasi bernegara yang berjumlah ratusan juta jiwa ini dalam menentukan wakil rakyat hanya berbasis popularitas, kapabilitas dan gagasan sosok-sosok individual belaka yang sangat bervariatif dan tak terukur sekaligus tak terprediksi;
- Tidak memerlukan kampanye personal, biaya survey, biaya konsultan politik untuk mem-barnding diri, dan seterusnya bahkan biaya logistic pemilu serta penyelenggara pemilu;
- Sangat memudahkan mekanisme pencoblosan bagi pemilih;
- Relatif minim praktek saling sikut antar calon berbeda maupun dalam satu parpol;
- Rakyat akan tumbuh berkembang hidup dalam alam demokrasi yang lebih cenderung diajak mengenali ideologi, visi dan misi parpol sekaligus mengotrol dan pada gilirannya mendorong kualitas parpol sebagai representasi kepentingan kedaulatan rakyat;
- Mencegah kehadiran petualang politik oportunis atau caleg kutu loncat, dan seterusnya.
Sangat mengapresiasi para pakar
Kami selaku warga Negara yang mengorganisir diri dan melebur dalam gerakan politik “Dulur Ganjar Pranowo” senantiasa mengingat kalimat Prof. Dr. Ahmad Syafii Ma’arif: “Orang baik (normal) Jangan Diam”, Jakarta 2018, dan sangat mengapresiasi para pakar, akademisi dan peneliti dengan semngat integritas kebangsaannya yang telah mau secara aktif menyampaian hasil kajiankajiannya kepada masyarakat yang mendorong kami merasa sangat berkepentingan untuk menyampaikan opini kami di tengah-tengah masyarakat jelang pemilu serentak tahun 2024.
Proyek Kementerian PUPR di Kabupaten Samosir, DIKERJAKAN ASAL JADI
Banyak cara yang dapat dipilih untuk menyempurnakan sistem proporsional tertutup ini misalnya dimulai dengan sistem seleksi calon serta pengkaderan di tubuh parpol yang lebih transparan dan akuntable (misalnya minimal 3 tahun menjadi kader sebuah parpol), diikuti dengan tetap mencantumkan nama calon secara terbuka pada tiap TPS tanpa harus memuatnya dalam lembar kertas suara, dan seterusnya.
Singkatnya, kami meyakini, dalam waktu dekat ini majelis hakim MK akan menyampaikan putusannya atas perkara sistem pemilu proporsional yang mengakomodir prinsip-prinsip sistem proporsional tertutup dan sekaligus juga sistem proporsional terbuka yang lebih membawa Indonesia sebagai Negara demokrasi yang sehat, beradab dan maju dengan pemilu yang menggembirakan demi manusia Indonesia yang lebih maju dan sejahtera sesuai dengan amanah pembukan dan bang tubuh UUD NRI 1945.
MK niscaya mampu memberikan rambu-rambu terhadap undang-undang pemilu yang sepatutnya memiliki rumusan secara jelas tentang tujuan-tujuan pemilu yang hendak dicapai dan wajib dipastikan bahwa pilihan atas sistem pemilu adalah koheren dengan sistem kepartaian, sistem perwakilan, dan sistem pemerintahan agar demokrasi mampu terkonsolidasi kuat.
Perdebatan adalah hal yang lumrah. Namun, perubahan sistem ini sebenarnya bisa didorong untuk mulai diterapkan pada pemilu terdekat karena tidak ada hambatan administratif.
Faktor penentu selain para anggota DPR yang merupakan representasi parpol yang berbeda, juga terletak pada kemauan masyarakat kita sendiri serta integritas dan kemandirian serta keberanian majelis hakim MK untuk mengubah sistem yang sudah diterapkan saat ini.
Pada kesempatan ini sekaligus kami mendesak dan mendorong majelis hakim MK segera dalam waktu tidak kurang dari 14 hari sejak hari ini, menerbitkan putusannya demi Indonesia yang demokratis dan kepribadian bangsa sesuai dengan budaya dan warisan leluhur yang adi luhung yang selanjutnya kami sebut sebagai Sistem Pemilu Proporsional Pancasila.
Penulis, Dipl. Ing. Charles H.M. Siahaan, SH, Ketua Tim Pakar Hukum & Budaya DGP
Profile singkat – Charles H.M. Siahaan, berlatar pendidikan dari mahasiswa ITB yang mengikuti studi bidang “Electrical Communication Eng” di Tokyo, Jepang sekaligus sarjana hukum yang berprofesi sebagai Advokat Senior. Ketua Organisasi Gerakan Daulat Desa, Pengurus Yayasan Gerakan Kebajikan Pancasila, dan Ketua Umum Marga Siahaan (Namora Itano) Jabodetabek.