PENGAMAT ANGGARAN, Elfenda Ananda, sangat menyayangkan aktifitas Sosialisasi Perda (Sosper) dilaksanakan dengan melanggar Peraturan Daerah (Perda) lainnya, yakni Perda Ketertiban Umum atau Trantibum. Apalagi kegiatan Sosper itu juga dilakukan secara bersamaan dalam satu lokasi dengan kegiatan lainnya.
Hal ini disampaikan Elf, sapaan akrabnya, Selasa (14/02/2023), melalui pesan WhatsApp (WA)-nya, saat diminta tanggapannya terkait adanya kegiatan Sosper dengan menutup jalan umum yang dilakukan anggota DPRD Sumut, Benny Harianto Sihotang, pada Sabtu (11/02/2023) lalu.
“Sangat disayangkan kalau aktivitas Sosialisasi Perda atau Sosper, kemudian melanggar Perda lainnya, yakni Perda Ketertiban uUmum atau Trantibum dan aktifitas ini juga diduga sekaligus acara “Bona Taon STM”. Secara prinsip, tidak boleh ada produk perundang-undangan yang pelaksanaannya bertentangan satu sama lain, termasuk Perda tingkat provinsi mengalahkan Perda tingkat kota. Tentunya, produk perundang-undangan atau Perda itu harusnya selaras dan saling mendukung,” jelasnya.
Menurutnya, prinsip ini harus menjadi satu kepatuhan dan azas umum yang harus dipahami dalam membuat produk hukum dalam hal ini Perda. Apa yang terjadi pada kegiatan Sosper yang berakibat pada penutupan jalan untuk kegiatan sosialisasi peraturan (Sosper) perundang-undangan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Ketentraman Masyarakat dan Ketertiban Umum yang dilakukan anggota DPRD Sumut, Benny Harianto Sihotang, pada Sabtu (11/02/2023) lalu di Jalan Perkutut, Kelurahan Sikambing C, Medan Helvetia, Kota Medan, telah bertentangan dengan azas tersebut.
Baca juga :
100 anggota DPRD Sumut abaikan SUARA BURUH
“Mensosialisasikan Perda merupakan kegiatan yang sering kita dengar dilakukan anggota legislatif daerah belakangan ini. Hal ini tidak asing lagi di masyarakat karena seringkali diundang untuk terlibat sebagai partisipan dalam kegiatan ini,” imbuhnya.
Disebutkan mantan Direktur Eksekutif Forum Independen untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Wilayah Sumatera Utara (Sumut) ini, trend Sosper seperti ini terjadi hampir di semua daerah dengan biaya sebesar Rp 45 juta sekali melakukan Sosper dengan rincian biaya konsumsi, biaya tempat, kursi, meja, tenda teratak, spanduk, proyektor, penggandaan serta penjilidan laporan kegiatan, maupun honor nara sumber.
Baca juga :
HEBAT anggota DPRD Sumut buat Sosper dengan MENUTUP JALAN UMUM
“Dalam pengelolaan keuangan negara tentunya ada dasar dari pengeluaran uang, yakni tujuan dari kegiatan harus jelas prinsipnya seperti transparan, efesien, efektif, dan akuntabel hingga skala prioritas dan kepatutan. Dalam kegiatan juga tidak boleh bertentangan dengan produk perundang-undangan lainnya. Dari syarat keluarnya uang negara yang diperoleh melalui pajak rakyat, tentunya yang paling penting adalah manfaat yang diterima masyarakat dari aktivitas itu apa ?. Sejauh mana uang tersebut dapat diukur kemanfaatnya buat masyarakat ?,” tanya Elf.
Seharusnya, sambung Elf lagi, kegiatan Sosper yang punya tujuan menyampaikan sebuah produk kebijakan daerah ke masyarakat, harus dievaluasi efektifitasnya di masyarakat. Sebab, kegiatan ini diduga lebih banyak muatan kepentingan pribadi anggota legislatif dalam mendapatkan “amunisi” dalam ajang pemilu berikutnya.
Elf menuding, selain menambah uang kantong legislatif, Sosper ini bermasalah dalam banyak laporan karena sering tidak sesuai kondisi sesungguhnya dalam pengeluarannya. Secara umum, banyak laporan dibuat secara terpaksa untuk memenuhi aturan pelaporan sesuai nomen klaturnya. Padahal secara rill tidaklah demikian, termasuk misalnya biaya pengganti transportasi bagi peserta, yang sebenarnya patut dipertanyakan. Padahal mereka warga sekitar dan tidak membutuhkan transportasi. Para peserta, biasanya menerima biaya pengganti transportasi yang tidak dibuktikan dengan slip kwitansi pengeluaran.
Baca juga :
JENDERAL pertama DIVONIS MATI
Disebutkan Elf juga, kegiatan Sosper di tingkat daerah juga mengundang tanya, sebab begitu gencarnya para anggota dewan melaksanakan kegiatan ini hingga puluhan kali yang menyerap anggaran cukup besar. Kegiatan ini tidak sebanding dengan bagaimana saat setiap Perda ini hendak dibuat yang juga harus disosialisasikan, diseminarkan dan hendak mendapatkan masukan dari masyarakat.
“Yang sering terjadi, Perda yang dibuat adalah mengadopsi peraturan di atasnya dan rendah daya kreatifitas untuk mengadopsi kondisi lokal sesungguhnya. Biasanya pembahasan Perda juga sering tertutup dan jauh dari tanggapan masyarakat yang mereka sosialisasikan saat ini. Kalaupun ada terbatas pada grup akademisi yang sudah dapat mereka pastikan mendukung dalam pembuatan Ranperda tersebut. Jarang sekali sosialisasi Ranperda jujur menjelaskan apa manfaat Perda itu dibuat bagi masyarakat. Selain itu, patut dipertanyakan gencarnya kegiatan sosialisasi Perda oleh anggota DPRD di tengah padatnya jadwal perjalanan dinas,” ulas Elf.
Dia juga menilai rendahnya pengawasan kinerja legislatif dalam pengawasan jalannya Perda APBD. Terbukti dengan banyaknya persoalan anggaran yang dipertanyakan seperti pembelian Medan Club, proyek infrastruktur Rp.2,7 triliun, Rehab Kantor Gubernur, rehab rumah dinas dan sebagainya.
“Hampir dapat dipastikan, mereka hampir tidak punya waktu untuk menerima berbagai keluhan warga Sumut yang datang ke rumah rakyat untuk menyampaikan permasalahnnya. Sebab, waktu mereka menerima aspirasi tersebut habis untuk perjalanan dinas, Sosper, reses dan sebagainya. Sehingga, untuk menerima aspirasi masyarakat yang datang, baik lewat perwakilan aksi maupun delegasi akan ada alasan anggota dewan lagi keluar,” bebernya.
Untuk ke depannya, Elf menyarankan perlu langkah-langkah yang kongkrit untuk memastikan efeseiensi, efektifitas, maupun akuntabilitas dari kegiatan tersebut agar tidak membebani APBD Sumut yang bebannya berat bagi pembangunan daerah.
Diungkapnya, banyak pembangunan tidak dapat dilaksanakan karena anggaran terbatas. Tetapi di satu sisi, dalam berbagai kegiatan yang rasanya belum begitu urgent dan terkesan seremonial serta kurang bermanfaat, tetapi tetap terlaksana secara massif dan gencar. Namun, ada pula yang terkesan arogan kalau kegiatan tersebut dikritik masyarakat. (Sipa Munthe/***)