KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA (KPA) melaporkan pada tahun 2022 sedikitnya terdapat 212 kejadian konflik agraria. Jumlahnya meningkat 2,36% dibandingkan tahun sebelumnya dengan 207 kasus.
Laporan konflik agraria ini didominasi sektor perkebunan, khususnya sawit, dan diikuti dengan sektor infrastruktur, properti, kehutanan, tambang dan fasilitas militer.
Sekjen KPA, Dewi Sartika, mengatakan kasus pertanahan tak bisa dipukul rata semua bisa diselesaikan melalui pengadilan. Dalam kasus-kasus seperti di Indramayu, Tebing Tinggi, dan Siantar semestinya bisa diselesaikan pemerintah.
“Yang untuk reforma agraria itu kan ada aspek, tidak hanya pemenuhan atas tanah, tapi juga pemulihannya. Karena itu tadi ada banyak sekelompok petani, masyarakat adat, masyarakat desa yang menjadi korban hukum kebijakan di masa lalu.
“Itu adalah lebih ke putusan politik negara yang harus mengeluarkan desa-desa atau kampung-kampung di dalam konsesi perusahaan atau klaim BUMN atau negara. Itu bukan ranah pengadilan,” kata Dewi.
Sejauh ini, menurut Dewi, pemerintah cenderung mendorong segala konflik agraria diselesaikan melalui pengadilan.
Baca juga :
Silaturahmi IMLEK dari Vihara ke Vihara, Hj Susanti Dewayani kenakan QIPAO
Padahal, kata dia, selama ini persoalan pertanahan yang dibawa ke PTUN, Pengadilan Perdata, atau Umum justru menjadi apa yang ia sebut “ruang suaka cuci tangan bagi mafia tanah itu sendiri.”
“Karena banyak juga kasus mafia tanah itu berkelindan dengan kepentingan-kepentingan beberapa elit penguasa, politik, bisnis. Justru ruang terbukanya di pengadilan,” katanya.
Baca juga :
Bagaimana pun, kata Dewi, KPA tidak serta merta menolak wacana pembentukan pengadilan tanah. Akan tetapi, perlu adanya masa transisi untuk menyelesaikan konflik agraria struktural – konflik yang menyebabkan suatu komunitas kehilangan hak atas tanahnya karena klaim instansi/lembaga pemerintah, swasta atau badan usaha pemerintah.
Masa transisi ini perlu dikelola lewat lembaga atau komite khusus, kata Dewi. Selain itu, hakim pengadilan tanah juga wajib mengantongi sertifikat yang menandakan berkualifikasi memahami isu pertanahan dan reforma agraria.
Baca juga :
DPD DGP SRAGEN Jawa Tengah konsolidasi dan koordinasi bersama KETUA UMUM DPP
“Kalau tidak demikian, nanti bisa rontok hak masyarakat. Atau dia [pengadilan tanah] nanti menjadi modus si mafia tanah untuk mencari suaka,” katanya. (BBCIndonesia/***)