PEMBELIAN LAHAN Medan Club seluas 13.931 M2 dengan nilai Rp457 miliar lebih oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu), menimbulkan tanda-tanya masyarakat.
Pembelian lahan tersebut di luar dugaan masyarakat Sumatera Utara (Sumut) sebab tidak ada urgensinya bagi peningkatan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan yang mendesak.
Padahal, masih banyak sebenarnya yang dibutuhkan oleh masyarakat Sumut untuk segera dibangun Pemprovsu, seperti infrastruktur jalan dan jembatan, gedung sekolah SMA, serta fasilitas kesehatan dan juga program bagi masyarakat miskin.
“Atas dasar itu, ketika terpublis rencana pembelian Medan Club oleh Pemprovsu di beberapa media dengan alokasi anggaran sekitar Rp600 miliar, kami dengan tegas menyatakan menolak rencana itu. Dan anggota DPRD Sumut juga dalam rapat Badan Anggaran atau Banggar dengan Tim Anggaran Pembangunan Daerah atau TAPD Pemprovsu saat itu, menolak usulan pembelian itu,” kata Sekretaris DPD LSM PENJARA PN Sumut, Johan Merdeka, di Medan, Rabu (18/01/2023).
Diarahkan ke BPN/ATR
Ketika status alas hak kepemilikan atas lahan itu dikonfirmasi ke Kuasa Hukum Medan Club, Kamarudin Harahap, kata Johan Merdeka, oleh Kamarudin Harahap diarahkan untuk bertanya ke Kantor Badan Pertanahan Nasional/Agraria dan Tata Ruang (BPN/ATR) Kota Medan.
“Sebab saat itu ada somasi dari pihak Kesultanan Deli kepada pihak pengelola Medan Club dimana di satu sisi, saat itu telah beredar status tanah Medan Club masih berdasarkan Hak Guna Bangunan atau HGB Nomor 168,” kata Johan Merdeka.
Berdasarkan itu, imbuhnya, status kepemilikan telah ditingkatkan menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama pihak pengelola Medan Club.
Baca juga :
Pemko Pematang Siantar klarifikasi penertiban IMLEK FAIR 2023, HARUS MELENGKAPI PERSYARATAN SESUAI KETENTUAN
Tanah berstatus HGB
Dikatakan Johan Merdeka yang juga Ketua Gerakan Pemuda Marheinis (GPM) Kota Medan, hal itu menjadikan status kepemilikan Medan Club menjadi simpang-siur. Dan menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat, apakah proses peningkatan status hak itu sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
“Bagaimana Pemprovsu bisa membeli tanah yang berstatus HGB sebab dengan status HGB itu menandakan bahwa objek tersebut masih milik negara dan bila telah habis masa HGB-nya, tanahnya kembali kepada negara?. Dan menjadi aneh bila negara membeli tanah negara,” tanya Johan.
Baca juga :
Ayah Brigadir J: SUKA MEREKALAH
Untuk kejelasan proses jual-beli objek tersebut, Johan Merdeka pun meminta agar DPRD Sumut tidak diam, tetapi meminta penjelasan dari Pemprovsu dan para pihak yang terlibat dalam proses jual-beli tersebut.
Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga diminta ikut melakukan penyelidikan terhadap transaksi itu. Bila ditemukan unsur penyimpangan hukum yang kuat, agar ditingkatkan ke tahap penyidikan. Hal ini untuk memastikan kesahihan dan legalitas terhadap transaksi tersebut karena menggunakan anggaran negara.
KONSPIRASI JAHAT
“Saya menduga ada semacam konspirasi jahat antara Pemprovsu dengan DPRD Sumut sehingga transaksi ini bisa terjadi dengan menggunakan dana yang bersumber dari dua Tahun Anggaran (TA) APBD Sumut yakni TA 2022 yang dibayarkan pada bulan Desember 2022 sebagai pembayaran tahap I, dan pembayaran tahap II atau pelunasannya pada bulan Januari 2023,” tudingnya.
Ketua Umum DPP SATU BETOR ini mendasarkan dugaannya pada sikap DPRD Sumut yang pada awalnya menolak pengajuan oleh TAPD Pemprovsu dalam rapat pembahasan Rencana APBD Sumut TA 2022, namun menyetujui usulan itu pada Rapat Paripurna Pengesahan APBD Sumut TA 2022 dan TA 2023.
Baca juga :
Massa Cipayung Plus LEMPARI TELUR BUSUK ke Gedung DPRD Sumut
Terpisah, Kepala BPN/ATR Kota Medan, Yuliandi Djalil, yang diminta penjelasannya terkait hal ini, terkesan enggan menanggapinya.
Pesan yang dikirimkan ke nomor WhatsApp miliknya, memang telah tercontreng dua, namun belum dibaca. Dan ketika dihubungi lewat telepon WA miliknya, meski nada berdering, tetapi tidak mau menjawab.
Pemprovsu harus terbuka ke publik
Sementara, Pengamat Kebijakan Publik, Siska Barimbing, yang diminta tanggapannya terkait kebijakan Pemprovsu ini, mengatakan bahwa mengacu kepada PP Nomor 274 Tahun 2014 tentang Pengadaan Barang Milik Negara/Daerah, khususnya Pasal 12, menegaskan bahwa pengadaan itu harus dilaksanakan berdasarkan prinsip efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing adil dan akuntabel.
“Artinya, Pemprovsu harus terbuka kepada publik terkait proses dan prosedur pembelian lahan Medan Club itu. Dan hal ini seharusnya menjadi pertanyaan dewan saat pengusulan pembeliannya. Bykan awalnya menolak, tetapi pada akhirnya menyetujui tanpa jelas argumentasi dan alur hukumnya,” kata Siska.
Siska minta agar masalah pembelian lahan Medan Club itu dapat dijelaskan secara terbuka oleh Pemprovsu bersama DPRD Sumut agar terpenuhi prinsip-prinsip yang tertuang dalam aturan tersebut. (Sipa Munthe/***)