TAHUN 2024 sebagai “tahun politik” di Indonesia, merupakan tahun kesempatan bagi rakyat untuk memberikan pelajaran bagi para politikus perusak bangsa. Sebab, di tahun 2024, dilakukan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, Pemilihan Legislatif (Pileg), dan juga Pemilihan Presiden (Pilpres).
Di tahun tersebut, tentunya akan bermunculan Calon Kepala Daerah, baik Calon Gubernur (Cagub), Calon Bupati (Cabup), Calon Walikota (Cawako), Calon Legislatif (Caleg), dan juga Calon Presiden (Capres).
Nah, disaat inilah nantinya mereka-mereka yang mencalon itu akan terkesan seperti orang yang punya kepedulian kepada sesama dengan memberikan hadiah, bantuan, dan janji-janji. Dan kalau hal ini terjadi, dapat dipastikan bahwa mereka bukan orang baik, sehingga tidak layak dipilih.
Prasangka ini dilontarkan Sutrisno Pangaribuan, kader PDI-Perjungan sekaligus Presidium Kongres Rakyat Nasional (KoRaN), dalam rilisnya yang diterima Senin (24/10/2022).
Baca juga :
Di SMA Negeri 6 Pematang Siantar, LBH Gerak Indonesia sosialisasi UU Perlindungan Anak
Mantan anggota DPRD Sumut yang dikenal vokal ini menyarankan, kalua ada calon atau timnya yang memberi hadiah atau janji, rekam peristiwanya dan laporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun ke sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
Sutrisno juga berpesan, kalau ada calon yang secara langsung atau melalui timnya, ngotot memberi hadiah dalam bentuk apapun, seperti uang, barang, bahkan janji, ambil hadiahnya tetapi jangan pilih orangnya. Karena para calon seperti itu, diyakini tidak mempunyai kapasitas maupun kapabilitas yang mumpuni.
“Presiden yang bagus pun tidak akan mampu melakukan perubahan sepanjang mitranya, legislatif tidak memiliki kapasitas yang memadai. Maka jika Indonesia 2024 kita harapkan lebih baik, pilihlah Cagub, Cabup, Cawako, Caleg, dan Capres yang tidak dungu,” himbau Sutrisno.
Menurutnya, akibat “duduknya” orang-orang seperti itu di legislatif baik pusat maupun daerah, serta di pemerintahan daerah, program pemerintah pusat sering tidak sebangun dengan pemerintah daerah, karena selama ini, di banyak tempat, kepala daerah dan DPRD-nya tidak memiliki kapasitas yang memadai. Akibatnya program- program pemerintah pusat sering sekali tidak dapat dirasakan oleh masyarakat.
“Berdasarkan realitas tersebut, sejatinya partai politik mempersiapkan orang-orang terbaik untuk menjadi pemimpin, baik Presiden/Wakil Presiden, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, termasuk legislatif, baik pusat maupun daerah, sehingga eksekutif dan legislatif menjadi mitra strategis dan kritis. Dengan persiapan yang baik, rakyat akan disuguhkan para eksekutif dan legislatif yang memiliki kecakapan,” terang Sutrisno yang juga mantan Staf Ahli DPRD Sumut periode 2019 – 2021 ini.
Baca juga :
Di ajang Road to UFC, dunia saksikan Jeka Saragih (Indonesia) KO-kan Ki Won Bin (Korea Selatan)

Mengacu pada proses yang dialami oleh Presiden Jokowi, imbuhnya, didapatkan beberapa hal, meskipun akhirnya sudah dihentikan oleh Presiden Joko Widodo, yakni sempat muncul wacana perpanjangan periode atau tiga periode dan juga penambahan waktu dengan jadwal pemilu diundur terhadap jabatan presiden.
Kalau mengikuti alur pikir yang sebangun, sambungnya lagi, maka seharusnya orang yang masih satu periode jadi kepala daerah (gubernur, bupati, walikota), seharusnya dilanjutkan ke periode kedua. Seperti Bobby Nasution di Medan, Eri Cahyadi di Surabaya, Gibran Rakabuming di Solo, Zahir di Batubara, Darma Wijaya di Serdang Bedagai, dan lainnya.
Tuntaskan dulu tanggung jawab dua periode di daerah masing-masing, baru bertarung di tingkat berikutnya. Karena kalau dirasakan bagus, masyarakat pasti akan minta tambah waktu,” tegasnya.
Diurai Sutrisno, sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi menjadi Walikota Solo dua periode. Maka sejatinya, setiap kepala daerah dari PDI Perjuangan menjadikan Jokowi sebagai teladan, karena mengutamakan kepentingan rakyat daripada ambisi kekuasaan yang sangat personal.
Baca juga :
DGP Sumut ajak perangi politik identitas
Baginya, menjadi gubernur itu tidak lebih keren daripada jadi bupati/walikota. Alasannya, basis otonomi daerah itu adalah kabupaten/kota, maka siapa yang menjadi bupati/ walikota dari PDI Perjuangan sejatinya berusaha untuk pemimpin dua periode. Tidak sekedar menjadikan jabatan bupati/walikota sebagai batu loncatan.
Dia mencontohkan penugasan Jokowi ke Pilkada DKI Jakarta, didasarkan pada prestasi beliau sebagai Walikota Solo dua periode. Pilkada Solo tahun 2010, Jokowi-Rudy di periode kedua memeroleh kemenangan 90,09 persen suara. Perolehan itu menjadi rujukan prestasi untuk melangkah selanjutnya. Terbukti, di putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2012, Jokowi-Ahok unggul 53,82 persen dari pasangan Fauzi Bowo/Nachrowi Ramli yang memperoleh suara 46,18 persen.
Proses yang dialami Jokowi, katanya, sesuai dengan apa yang disampaikan Ibu Mega tentang kesabaran revolusioner, atau ojo kesusu kalau menurut Jokowi.
Pada Pilkada 2024 nanti, Sutrisno berharap, semua kepala daerah dari PDI Perjuangan yang baru satu periode, dapat mempersiapkan diri untuk maju dan menang di periode kedua. Sebab kalau ada orang atau kelompok yang mendorong walikota/bupati satu periode menjadi calon gubernur, dapat dipastikan mereka adalah penjilat, dan ingin menjerumuskan. Atau paling tidak orang yang tersebut justru menginginkan jabatan yang akan ditinggal.
“Misalnya, kalau ada orang atau kelompok yang mendorong, mempromosikan Bobby Afif Nasution maju sebagai Calon Gubsu tahun 2024, pasti orang atau kelompok tersebut punya niat yang tidak baik, menjerumuskan, penjilat, dan bahkan menginginkan posisi Walikota Medan tersebut. Baiknya matanglah sematang Jokowi di Solo. Jangan grasa- grusu, ojo kesusu!,” saran mantan Ketua Cabang GMKI Kota Medan ini.
Diingatkannya, tiga kali berturut-turut pada Pilgubsu, calon PDI Perjuangan selalu kalah. Dia berharap pada Pilkada serentak 2024 nanti, calon PDI Perjuangan bisa menang.
Untuk memenangkan pertarungan itu, usulnya, strategi harus diubah, yaitu memperkenalkan sejak dini Bakal Calon Gubsu tahun 2024 dari PDI Perjungan.
“Sebagai bagian dari PDI Perjuangan, saya akan mensosialisasikan Dr. Hendrar Prihadi, S.E, M.M, usia 50 Tahun, menjadi Calon Gubernur Sumatera Utara. Hendrar Prihadi pernah menjadi anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah, pernah Wakil Walikota Semarang, dan Walikota Semarang dua periode. Saat ini menjadi Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), jabatan non kementerian setingkat Menteri. Sebagai Walikota Semarang dua periode, beliau telah menunjukkan loyalitas kepada rakyat dan partai. Maka kalau Ibu Mega dan Pak Jokowi merestui dan mendukung Beliau, pasti dapat memenangkan Pilgubsu 2024,” jelasnya.
Pengalaman dan kematangan tersebut, tambahnya lagi, menjadi modal awal untuk diperkenalkan kepada masyarakat Sumatera Utara. Beliau dapat dipasangkan dengan Dr. Jonius Taripar Parsaulian Hutabarat, S.Si, M.Si (JTP), yang saat ini masih jadi anggota DPRD Sumut dari Partai PERINDO.
Latar belakang JTP, sambungnya, mantan Kapolres Tapanuli Utara. Sewaktu mahasiswa aktif di GMNI, dan ini membuat beliau dekat dengan PDI Perjuangan. Kolaborasi Dr. Hendrar Prihadi dan Dr. Jonius T.P. Hutabarat diyakini dapat membuat Provinsi Sumatera Utara akan lebih maju. Jika Ganjar Pranowo akan jadi presiden, pengalaman mereka itu nantinya akan memudahkan koordinasi pemerintah pusat dengan Pemprovsu untuk melaksanakan pembangunan. (Sipa Munthe/***)