Oleh | Erizeli Jely Bandaro
SAYA sudah baca berita Financial Time dan Xinhua China. Berita itu sangat logis sebagai sebuah kekhawatiran. Bahwa Indonesia sebagai penghasil CPO terbesar di dunia, akan jadi sumber pemicu inflasi pangan global.
Apa pasal? Maklum, industri downstream CPO oleo pangan yang ada di Korea, China, Jepang, India, dan negara lain yang meroket harganya. Dan ini bersinggungan dengan kebutuhan rakyat banyak.
Lobi intensif kepada Jakarta
“Negara seperti China, Korea, India dan Jepang, sedang wait and see. Kalau dalam seminggu tidak ada perubahan kebijakan larangan ekspor CPO, mereka pasti ajukan nota protes kepada Indonesia.
Lobi intensif kepada Jakarta pasti mereka lakukan. Maklum ini menyangkut ekosistem bisnis yang melibatkan Industri, rantai pasokan dan distribusi berkala raksasa.
Dampak ekonominya sangat masif bagi negara tersebut. Jelas menambah angka inflasi. Kata teman di China lewat WeChat.
Baca juga : Amerika fitnah China, deradikalisasi bilangnya langgar HAM
Tidak pernah menyangka
Saya bisa bayangkan, sejak tahun 2013 pembangunan downstream CPO di China dan Korea sangat besar kapasitasnya. Mereka tidak pernah menyangka Indonesia akan keluarkan kebijakan ban ekspor CPO.
Enggak kebayang akan terjadi kebangkrutan massal pabrik downstream di sana. Apalagi saham industri CPO di luar negeri itu, juga ada yang dimiliki konglomerat Indonesia, seperti Wimar yang punya lebih 400 pabrik downstream sawit di luar negeri, akan teracam tutup karena tidak ada pasokan bahan baku. Belum lagi group Salim dan Sinar Mas.
“Ada apa sih sebenarnya di Indonesia? Kan politik stabil. Apalagi karena Covid, neraca perdagangan surplus, berkat naiknya harga komoditas utama Indonesia. CPO sendiri menyumbang devisa 14% dari total ekspor non migas. Itu kan bagus bagi Indonesia. Kenapa buat kebijakan konyol? Apa sudah dipikirkan terhadap fundamental ekonomi yang retak dan penerimaan devisa yang menurun.“ (Kata teman saya).
Baca juga : Apa saja target partai politik HTI???
Tidak pernah dianggap serius
Menurut saya, masalah larangan ekspor sawit ini bukan berita baru. Ini sudah berkali-kali Jokowi peringatkan kepada pengusaha dan kementrian.
“Hayo kembangkan hilirisasi! Tetapi tidak pernah dianggap serius oleh semua pihak. Walau ada kebijakan pajak ekspor CPO, namun tidak memicu pengusaha untuk mengembangkan dowstream sawit.“ Tetapi mengapa harus sekarang? (Desak teman saya).
“Daripada terus pertanyakan kebijakan pemerintah, kenapa engga relokasi industri downstream CPO kalian ke Indonesia. Kan bagus dekat dengan bahan baku. Secure kan.“ (Kata saya)
Baca juga : Jalan provinsi kritis, masyarakat Habornas Toba jengkel tak ada perbaikan
Jokowi berusaha melawan, namun tidak yakin bisa menang
Namun tidak perlu jadi orang pintar untuk tahu kalau sebenarnya kebijakan Jokowi ini berkaitan dengan politik dan perseteruan menuju Pilpres 2024.
Jokowi tidak lagi melihat kemalasan konglomerat membangun downstream, tetapi lebih kepada sikap arogan mereka. Bahwa, mereka bisa kendalikan negara ini karena sudah membeli elit politik untuk melancarkan agenda mereka saja. Apa? Kaya raya dari bisnis rente untuk kepentingan investor asing. Itu aja. Dan Jokowi berusaha melawan.
“Tidak yakin Jokowi bisa menang. Lihat aja, tidak lebih sebulan, kebijakan ini akan direvisi dengan alasan klasik, yang seakan-akan membela rakyat petani sawit. Dan janji pengusaha akan jamin supply migor dengan harga murah dan tersedia di pasar. Itu aja. Kekuatan konglomerat itu terlalu besar dibandingkan Jokowi. Mereka mengendalikan partai dan ormas.“ (Kata teman).
Saya tersenyum getir. Hanya doa yang bisa saya panjatkan. “Tuhan, beri kami kesabaran ketika kami kalah dan kekuatan untuk bangkit.” (***)