Oleh | Sutrisno Pangaribuan
PROSES KEPEMIMPINAN Jokowi kini mejadi role model leadership politik di Indonesia. Hingga Pilpres 2009, tidak ada kepala daerah yang mampu bersaing dengan elit politik nasional.
Semua calon presiden dan wakil presiden, kalau bukan ketua umum partai politik, setidaknya pernah jadi menteri. Maka hampir semua kepala daerah, pasca selesai menjabat, berlomba merebut kursi di DPR RI mau pun DPD RI.
Kita, tentu tidak pernah memperkirakan bagaimana Jokowi menjadi Wali Kota Solo, kemudian setelah dua periode bertarung mengalahkan petahana menjadi gubernur DKI Jakarta, lalu kemudian mengalahkan Prabowo Subianto, menantu mantan presiden, mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad, dan ketua umum partai politik.
Berdasarkan hasil survey berbagai lembaga, sejumlah nama yang memiliki elektabilitas tinggi saat ini pun merupakan kepala daerah atau mantan kepala daerah. Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, Basuki Tjahaja Purnama, Tri Risma Harini adalah kepala daerah atau mantan kepala daerah.
Sebagai gubernur Jawa Tengah, menjadi peraih tingkat elektabilitas tertinggi tentu tidak mudah bagi Ganjar Pranowo.
Jakarta, selain menjadi ibu kota negara, juga menjadi pusat segala hal termasuk media pers.
Keuntungan Jokowi tahun 2014, adalah beliau gubernur DKI Jakarta yang setiap aktivitas “beda” akan diliput dan disiarkan media pers.
Berbeda dengan Ganjar Pranowo, aktivitasnya tentu terbatas diliput dan disiarkan media nasional.
Tiap daerah memiliki jatah untuk masuk berita nasional. Kalau di Jakarta semua hal bisa jadi berita nasional, sementara dari daerah, butuh berita yang berskala nasional dan slotnya pun terbatas.
Namun dalam berbagai keterbatasan itu, Ganjar Pranowo justru semakin dikenal secara nasional.
Sejak Jokowi menjadi presiden, maka gubernur DKI Jakarta dianggap sebagai “stepping stone” untuk menjadi preside
Maka, tidak mengherankan kalau Anies Baswedan, mantan gubernur DKI Jakarta, dan pernah ikut konvensi calon presiden Partai Demokrat pun akhirnya “ingin mengikuti” jejak Jokowi.
Akan tetapi jabatan gubernur DKI Jakarta tidak membuat Anies Baswedan melampaui elektabilitas gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
Malah yang terjadi sebaliknya, gubernur “kampung”, yang sehari-hari lebih sering menggunakan bahasa Jawa, elektabilitasnya di atas gubernur yang sering berpidato pakai bahasa Inggris di berbagai negara.
Sesungguhnya Ganjar Pranowo adalah tokoh politik nasional yang memilih menjadi tokoh lokal.
Anggota DPR RI periode 2004-2009 (PAW menggantikan Jakob Tobing yang diangakt jadi Duta Besar RI untuk Korea Selatan), dan periode 2009-2014.
Beliau memilih bertarung di Pilkada Jawa Tengah 2013, mengalahkan petahana Bibit Waluyo. Pilihan tersebut membuat beliau “jauh” dari hiruk pikuk nasional, memilih mengurus rakyat Jawa Tengah.
Langkah tersebut agak berbeda dengan Jokowi, yang setelah menjadi walikota “kampung” Solo, justru mendekat ke ibukota, menjadi Gubernur DKI Jakarta juga mengalahkan petahana Fauzi Bowo.
Menempati peringkat pertama dalam berbagai lembaga survey, dari seorang “tokoh lokal” mengalahkan ‘tokoh nasional” merupakan modal awal dari Ganjar Pranowo sebagai calon presiden 2024.
Akan tetapi, kerja-kerja untuk memperkenalkan beliau lebih luas masih harus terus dilakukan.
Perang udara melalui media sosial, media online, media radio, dan televisi penting, namun perang darat, dari desa ke desa, dusun ke dusun, lorong ke Lorong, door to door pun harus dikerjakan.
Kekuatan Ganjar Pranowo ada pada gerakan rakyat, komunitas basis, dan relawan juang politik. Para pengusaha sepertinya masih “enggan” merapat ke beliau karena belum ada partai politik yang telah melakukan deklarasi dukungan.
Namun hal tersebut justru membuat beliau makin kokoh, seperti Jokowi tahun 2014, yang hanya tokoh politik lokal, namun didukung oleh rakyat.
Pasangan Ganjar Pranowo Harus dari Luar Jawa
Komitmen Presiden Joko Widodo membangun kesadaran “Indonesia Centris” tentu menarik dalam momentum demokrasi Pemilu 2024 ini.
Beberapa nama yang muncul sebagai kandidat presiden dan wakil presiden didominasi oleh tokoh- tokoh politik yang berasal dari pulau Jawa.
Ganjar Pranowo, yang saat ini menjabat sebagai gubernur Jawa Tengah tentu membutuhkan pendamping dari luar pulau Jawa. Kesadaran ini harus dilihat sebagai “pembaharuan konsensus” Indonesia 1945.
Indonesia bukan hanya pulau Jawa, maka calon wakil presiden Ganjar Pranowo harus berasal dari luar pulau Jawa.
Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, pergerakan pemuda, melalui momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan Proklamasi Kemerdekan 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa ini telah mengakomodasi dan menunjukkan keterwakilan nusantara.
Proklamasi ditandatangani dan diumumkan oleh Soekarno (Jawa) dan Hatta (luar Jawa: Sumatera).
Kemudian keduanya menjadi Presiden dan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia. Tentu bukan karena kebetulan itu dirancang dan disepakati, pasti telah melalui berbagai percakapan intensif dari para pendiri bangsa.
Di masa orde baru pun, Presiden Soeharto, Jawa, pernah memiliki Wakil Presiden Adam Malik, asal Sumatera dan Wakil Presiden Baharuddin Jusuf Habibie, asal Sulawesi.
Kemudian Presiden Megawati Soekarnoputri, memiliki Wakil Presiden Hamzah Haz, berasal dari Kalimantan.
Begitu juga Presiden Susilo Bambang Yudoyono pada periode pertama dan Presiden Joko Widodo periode pertama, keduanya memiliki Wakil Presiden Jusuf Kalla, asal Sulawesi.
Berdasarkan fakta tersebut, maka sudah tepat, Presidium Kongres Rakyat Nasional (KoRaN) akan menginisiasi rangkain kongres rakyat di seluruh ibukota provinsi di luar pulau Jawa dengan agenda: memotret Indonesia dari berbagai aspek untuk memastikan kesinambungan; menghimpun dan menginventarisasi berbagai aspirasi masyarakat, daerah; menyusun program-program sebagai bahan masukan untuk visi, misi calon presiden; melakukan sosialisasi terhadap Ganjar Pranowo dan kandidat-kandidat calon wapres; serta menghimpun dan menginventarisasi putra-putri daerah sebagai calon-calon pembantu presiden.
Seluruh rangkain kegiatan kongres rakyat ini diharapkan dimulai bulan Desember 2022 dan berakhir bulan Mei 2023.
Kongres rakyat ini diharapkan merupakan wadah bermusyawarah dan bermufakat rakyat Indonesia menjelang Pemilu dan Pilpres 2024.
Sutrisno Pangaribuan | Presidium Kongres Rakyat Nasional (KoRaN)