PEMERINTAH, dalam hal ini, Kementerian Kesehatan dan Balai Pengawas Obat Dan Makanan (BPOM) diminta untuk terbuka mengumumkan daftar nama-nama obat yang tercemar Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).
Sebab, zat tersebut seharusnya tidak boleh ada dalam obat sirup meski mungkin pada proses produksinya tidak terhindarkan terjadinya pencemaran. Kalaupun ada, tidak boleh melebihi ambang batas yang ditetapkan oleh BPOM.
Permintaan itu disampaikan anggota DPRD Sumut dari Fraksi PAN, H. Yahdi Khoir Harahap, saat disambangi di ruang kerjanya, di Gedung DPRD Sumut, Jalan Imam Bonjol, Medan, Kamis (27/10/2022), terkait maraknya penyakit Gagal Ginjal Akut Pada Anak (GGAPA) yang ditengarai akibat mengkonsumsi obat demam kemasan cair atau sirup dalam beberapa bulan ini.
Menurutnya, bila pemerintah mengumumkan daftar nama-nama obat yang terkontaminasi kedua zat tersebut, tidak akan menimbulkan gejolak. Justru masyarakat akan lebih waspada. Karena pemerintah sebenarnya sudah mengetahui nama-nama obat yang tercemar EG dan DEG itu.
Bila tidak diumumkan, justeru akan membuat masyarakat cemas dan bertanya-bertanya tentang obat yang aman untuk dikonsumsi anak-anak bila terkena demam.
“Itu yang pertama. Supaya masyarakat tidak cemas. Kedua, pemerintah harus memberikan solusi yang gamblang. Kalau obat-obat cair sejenis sirup tidak boleh dikonsumsi atau distop sementara karena terkontaminasi EG dan DEG, maka pemerintah harus memberitahukan jenis obat yang bisa dikonsumsi ketika anak sakit. Hal ini untuk menghindarkan informasi yang keliru atau hoaks yang saat ini beredar luas di masyarakat, terutama di Medsos,” terang Yahdi Khoir.
Baca juga :
ADA perusahaan farmasi produksi obat tercemar, INI PENJELASAN Komisi E DPRD Sumut
Pemerintah yang buat label aman
Untuk itu, Yahdi Khoir meminta kejelasan, ketegasan, dan transparansi dari pemerintah dengan mengumumkan nama-nama obat yang tercemar itu, beserta nama perusahaannya. Tidak ada yang salah dengan itu karena ini kejadian yang luar biasa. Sebab, dalam situasi seperti saat ini, pegangan masyarakat adalah pemerintah. Dengan begitu, masyarakat tidak panik dan dapat mengantisipasi meningkatnya jumlah korban GGAPA.
Ketiga, tambah Yahdi, soal label aman atau tidak amannya suatu obat. Bukan pihak produsen obat yang membuatnya. Tapi pemerintahlah yang membuat label aman atau tidaknya suatu obat untuk dikonsumsi. Dalam hal ini BPOM.
“Bahwa daftar zat yang ada di dalam suatu obat, bisa saja dicantumkan oleh pihak produsen obat itu, tetapi yang menegaskan obat itu aman atau tidak untuk dikonsumsi adalah Kementerian Kesehatan dan BPOM,” tegas Yahdi Khoir, sembari mengilustrasikan pengalaman pribadinya ketika mengunjungi sebuah apotik di suatu kota.
Baca juga :
Penyerahan 20 sapi jenis PO aspirasi Partai NasDem, Syahrul Nasution: “Ini komitmen partai meningkatkan kesejahteraan masyarakat”
Saat proses produksinya
Yahdi Khoir mengingatkan agar seluruh apotik jangan memanfaatkan surat edaran dari produsen obat tentang keamanan obat yang diproduksinya. Karena masyarakat sering percaya dengan penyampaian dari pihak apotik tentang keamanan obat yang akan dibelinya. Apalagi di setiap apotik kan ada apotekernya. Dan hal itu sangat menyesatkan.
“Memang benar bahwa pihak produsen obat tidak menggunakan EG dan DEG dalam kandungan obat produknya. Tapi cemaran itu muncul saat proses produksinya. Sebab yang bisa dicampur dalam obat sirup itu adalah Propilen Glikol,” ucapnya.
Yahdi mengungkapkan bahwa dirinya menemukan ada tiga pabrikan obat yang membuat surat edaran terkait keamanan produksi obatnya.
“Saya sudah sampaikan hal itu dalam rapat serapan anggaran APBD 2022 lalu kepada Kadis Kesehatan Provsu agar memeriksa apotik-apotik yang memanfaatkan surat edaran yang diterbitkan oleh produsen obat sebab hal itu bukanlah kewenangan produsen obat. Hal ini untuk mencegah jatuhnya kembali korban pada masyarakat. Saya sudah meminta Dinas Kesehatan segera melakukan sidak ke seluruh apotik yang ada dan bila ditemukan surat edaran seperti itu, agar segera dicabut dan diambil tindakan, karena akan membahayakan kesehatan masyarakat,” beber Yahdi Khoir.
Baca juga :
Jhon Mejer Purba: “Warga Simalungun bersukacita menyambut Jeka dengan makanan khas Dayok Nabinatur”
Tidak melebihi ambang batas
Menurutnya, kualitas obat yang dipasarkan ditentukan oleh ketatnya pengawasan yang dilakukan oleh quality control perusahaan obat itu. Kemudian ketatnya kontrol atau pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan bersama dengan BPOM.
Setiap produk obat yang akan dipasarkan, dibawa lebih dulu ke laboratorium milik pemerintah. Sehingga zat-zat berbahaya yang digunakan, tidak melebihi ambang batas yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan begitu, masyarakat akan aman untuk mengkonsumsi sebuah obat yang dipasarkan.
Yahdi menguraikan bahwa paracetamol adalah obat penurun demam yang di dalamnya terkandung zat penurun rasa nyeri.
Paracetamol bisa larut di dalam alkohol. Jadi yang digunakan adalah Polietilen Glikol yang masuk ke dalam golongan alkohol. Karena paracetamol sulit larut dalam air, maka digunakanlah Polietilen Glikol sebagai pelarutnya.
“Tapi dalam proses produksinya, Polietilen Glikol itu bisa tercemar dan berubah menjadi EG dan DEG yang sebenarnya tidak boleh ada di dalam obat tersebut. Proses pencemaran itu bisa saja terjadi mulai dari penyediaan bahan baku, proses produksinya dan reaksi samping dari zat-zat yang digunakan, pengepakan, sampai pada tahap penjualan,” terang Yahdi.
Dari 206 anak di Indonesia yang menjadi korban dan 99 anak telah meninggal, Yahdi mengatakan, memang ditemukan EG dan DEG di dalam darah para korban.
Lamban menangani kasus GGAPA
Dan dari ilmu Statistik, bila dalam grafik sebagian besar penyebabnya adalah kedua zat itu, maka memang itulah penyebabnya. Dan itu juga sesuai dengan teori probabiliti atau kemungkinan, sembari menganalogikannya dengan situasi mendung yang akan mendatangkan hujan, dan sebagainya.
Yahdi menilai pemerintah lamban dalam menangani kasus GGAPA ini bila dibandingkan dengan negara lain, seperti Singapura dan Hongkong. Karena pemerintah belum menyebutkan secara resmi penyebab dari GGAPA ini. Padahal negara ini punya banyak peneliti, laboratorium, dan analis kesehatan.
“Saya ini analis kimia, makanya saya tahu hal ini. Pertama, lakukan analisa kualitatif. Ada tidak azat tersebut. Bila ada ditemukan, kemudian dilanjutkan dengan analisa kuantitatif dan test kuantitatif untuk menentukan angka kadarnya dalam obat itu atau dalam darah korban. Melebihi ambang batas atau tidak. Karena ada standarnya. Itu yang harus dilakukan. Dan itu bukanlah hal yang sulit sebab analis pemula saja bisa melakukannya,” jelas Yahdi.
Yahdi menegaskan, bila pemerintah kekurangan tenaga analis untuk itu, dirinya siap membantu pemerintah untuk melakukan analisa tersebut. Tapi dengan mengikuti ketentuan yang ada.
Dari data yang ada, disebut Yahdi kalau anak yang paling rentan terkena GGAPA berada dalam usia 13 tahun ke bawah. Kalau usianya ke atas, kondisi ginjalnya agak lebih kuat sehingga dapat mengatasi beberapa racun yang masuk ke dalam tubuh.
Perlu memberikan solusi
Yahdi meminta supaya pemerintah tegas untuk menuntaskan kasus GGAPA ini. Lakukan sosialisasi dan berikan solusi. Baginya, kondisi antara desa yang di pelosok dengan daerah perkotaan, sangat jauh berbeda. Termasuk dalam hal fasilitas dan sarana kesehatan masyarakat. Agar masyarakat dapat terhindar dari ancaman GGAPA itu.
“Itulah perlunya pemerintah memberikan solusi. Sebab bagi masyarakat yang tinggal di daerah pelosok, akan sulit membawa anaknya ke Puskesmas dan sejenisnya. Solusi yang dimaksud misalnya, kalau anaknya terkena demam, maka berilah paracetamol tablet. Bila anaknya berusia di bawah dua tahun, beri seperempat tablet kemudian digerus dan dicampur madu, lalu diminumkan. Kalau berusia dua sampai 12 tahun, berikan separuh, digerus, dan dicampur madu. Dan pemerintah harus begitu. Itulah namanya pemerintah. Harus harus ketika rakyat membutuhkan,” tegasnya.
Selain itu, pemerintah juga harus menyampaikan kepada masyarakat yang belum terkena, cara pencegahannya. Agar masyarakat tidak khawatir dalam mengkonsumsi obat.
Yahdi juga mengatakan, ada 133 merk obat dari segala jenis, mulai obat batuk, obat cacing, dan sebagainya dalam bentuk sirup yang dirilis pemerintah pada 22 Oktober 2022 lalu, yang aman untuk dikonsumsi.
Namun, obat demam paracetamol, tidak ada yang diumumkan oleh pemerintah, yang aman untuk digunakan. Seperti Tempra, Sanmol, Thermorex, tidak ada dalam daftar rilis itu. Padahal itu masuk paracetamol semua.
“Itu yang harus diumumkan pemerintah. Perkara perusahaan itu merugi karena hal itu, adalah masalah lain. Sebab selama ini perusahaan obat-obatan itu telah mendapat keuntungan. Jadi tidak mungkin langsung bangkrut atau tumpur,” kata Yahdi yang juga meminta agar pemerintah secepatnya mengumumkan kepada publik hasil investigasi yang telah dilakukan agar didapat kepastian terhadap masalah GGAPA itu. (Sipa Munthe/***)