Catatan | Antoni Antra Pardosi
PAGI itu, sejak jarum jam menunjukkan angka tujuh, pekuburan tak jauh dari pemukiman penduduk yang biasanya terjebak dalam zona sepi, seketika ramai oleh manusia.
Mereka datang dengan perlengkapan seperti cangkul, parang, babat mesin, alat pembersih, wadah berisi air, dan sebagian besar membawa karung atau ember berisi pasir.
Dalam suasana riuh suara manusia serta ingar bingar alat pemotong rumput dan semak, pekuburan yang sebelumnya bak semak belukar, perlahan berubah kembali selayaknya pemakaman umum.
Setelah itu, keluarga atau yang sekerabat berkumpul mengelilingi kuburan, mengucapkan sepatah kata dengan khusuk (mandok hata), diakhiri dengan membasuh muka sebanyak tiga kali.
Tradisi tahunan perayaan Paskah
Begitulah aktivitas mangarihiti atau membersihkan kuburan di pemakaman umum Jeret, Kelurahan Parsoburan Tengah, Kecamatan Habinsaran, Kabupaten Toba, Jumat (16/04/2022).
Pada hari yang sama, kegiatan serupa juga dilakukan masyarakat Batak Kristiani di berbagai penjuru, khususnya Tapanuli dan sekitarnya.
Inilah tradisi turun temurun di kalangan Batak Kristiani menyambut Hari Raya Paskah, yang dilaksanakan Sabtu, sehari setelah Jumat Agung, atau sehari sebelum Peringatan Kebangkitan Isa Almasih.
Makna mangarihiti
Menurut kamus bahasa Batak, mangarihiti, kata dasarnya adalah “rihit”, yang artinya pasir. Ada pun maknanya setelah diberi afiksasi ada dua, yaitu “mencari pasir pada beras yang ditampi”, dan “memberi atau menabur sesuatu dengan pasir”.
Makna kedua inilah yang berkenaan dengan tradisi mangarihiti. Menabur pasir di kuburan tujuannya adalah untuk mempertahankan bentuk kuburan, memperindah, terutama untuk menghambat pertumbuhan semak dan belukar.
Kemudian mangarihiti mengalami perubahan makna menjadi lebih luas, yakni membersihkan kuburan, baik untuk kuburan berbentuk gundukan tanah, juga untuk kuburan yang terdiri dari material permanen.
Sementara itu, mangarihiti juga memiliki makna fisolofi religius yaitu mengenang kematian Yesus, sekaligus mengingatkan manusia pada kefanaan duniawi karena akan kembali menjadi tanah, pasir, atau debu.
Dulu dan Sekarang
Tidak diketahui sejak kapan tradisi mangarihiti dimulai. Kemungkinan besar adalah setelah sebagian besar masyarakat Batak memeluk agama Kristen, yaitu pada dekade 1940-an.
Tradisi ini menjadi tren sesuai dengan tradisi atau adat kebiasaan orang Batak, yang sangat menghormati leluhur.
Selain itu, dengan mangarihiti, justru akan mempermudah orang Batak menjalin silaturrahmi dan tali persaudaraan kekerabatan.
Pada momen ini banyak perantau yang pulang kampung. Bagi orang Batak, Paskah (sekaligus mangarihiti) merupakan perayaan terpenting dalam tahun liturgi gerejawi Kristen, setelah Natal.
Bedanya, belakangan suasana mangarihiti tidak semeriah sediakala, sebab sebagian besar kuburan sudah dibuat permanen. Membersihkan kuburan juga sudah jamak dilakukan menjelang Jumat Agung.
Di kota-kota besar mangarihiti sudah jauh berkurang, dan ziarah biasanya dilakukan menjelang Natal.
Dulu, setelah mangarihiti, keesokan harinya diikuti dengan ibadah subuh di pemakaman (disebut “buha-buha ijuk”). Tradisi ini diadopsi dari peristiwa Alkitab ketika Maria Magdalena mengetahui kebangkitan Yesus dari kubur.
Belakangan tradisi “buha-buha ijuk” sudah dilupakan. Untuk merayakan Paskah mengenang Kebangkitan Yesus (Ari Haheheon Tuhan Yesus), kembali dipusatkan di gereja. (***)
Penulis jurnalis segaris.co