catatan | ingot simangunsong
SEBULAN lagi Mulyono sudah tidak bisa suka-sukanya melangkahkan bidak caturnya.
Mulyono sudah dan harus wajib mengikuti aturan main, dan secara perlahan-lahan, alur demi alur cerita, akan dihadapinya.
Alur awal, akan datang sendiri, dan keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam, yakni HATI NURANI.
Hati nurani-nya yang selama ini ditekan dan dikerangkeng, merontah dan meradang, serta melesat kencang menghantam keras akal dan pikirannya yang sakit.
Efek kejut itulah, yang akan kembali membuka alam sadar Mulyono, sebagai sejatinya manusia normal. Ketika kenormalan itu kembali, di situlah titik balik, “apa yang kau tabur, itu juga yang akan kau tuai”, menjadi cambuk menyakitkan bagi batinnya.
Mengabaikan permintaan
Mulyono akan mulai merasakan, orang-orang yang selama ini patuh kepadanya, seiring begesernya waktu, akhirnya akan tersadar dari mimpinya dan akan mulai mengabaikan apa saja permintaan Mulyono.
Mulyono, sudah tidak lagi pimpinan, dan sudah mantan. Jadi, tidak perlu lagi direspon. Biarkan saja.
Mulyono pun akan memasuki fase post power syndrome. Mulai menyadari tubuhnya sudah tidak sebebas dulu lagi untuk bergerak.
Keberkuasaannya, sudah minggat dan memasuki ruang gorong-gorong yang pernah menaikkan elektabilitasnya.
Berhamburan dari keranjang
MEREKA yang selama ini dimasukkan ke dalam keranjang penyekapan, akhirnya merontah dan berhamburan dengan nafas terengah-engah.
Mereka bernafas lega, dapat keluar dari kerangkeng Mulyono. Mereka pun bebas menghirup udara segar. Layaknya keluar dari penjara, mereka harus berkemas dan berdandan.
Mereka akan membuat perhitungan politik, atas kegelisahan dan ketidaktenangan yang dialami. Mereka akan hitung-hitungan seberapa penatnya ketika dimasukkan ke dalam bubu layaknya ikan, tidak dapat keluar karena pintu dijaga demikian ketatnya.
Setelah kekuasaannya ditarik, maka mereka yang selama ini tersandera, akan berteriak sekeras-kerasnya. Seperti teriakan yang menggema dan menggelegar di Stadion GELORA BUNG KARNO [GBK], “Bajingan… Bajingan… Bajingan.”
*****
ANAK-ANAK Mulyono dan menantunya, akan menjadi perhatian khusus, dan omong kosong, orang-orang yang bérsamanya selama 10 tahun, akan tetap setia mendampingi, setia menjaga dan setia menjadi bumper.
Bahlul akan mikir dua kali untuk tetap di sebelah kanan Mulyono, karena dia akan bersiap-siap menjilat pimpinan baru.
Boedie Arieye yang mulus menyembah Mulyono hingga sujud mencium tanah, akan digulung-gulung untuk menjelaskan tentang akun FufuFafa yang viral itu.
Pepatah yang mengatakan bahwa tak ada gading yang tak retak, tak berlaku kepada Mulyono dan keluarganya. Kenapa? Karena gading, benar – benar sudah hancur berkeping-keping karena PONGAHnya.
Kekuasaan sudah dicabut, martabak dan pisang pun sudah lama tak berwujud.
Mulyono bakal seorang diri, membuka lembaran buku hariannya, dan akan menatap galau kerusakan-kerusakan kedemokrasian yang diciptakannya dengan skenario yang lari dari pengharapannya.
Mulyono akan menjadi catatan kelam perjalanan keDEMOKRASIan di negeri ini.
Anak cucunya bahkan hingga lapisan generasi ketujuh, akan menerima cacimaki dan serapah.
Apa mau dikatakan, nasi sudah jadi bubur. Nikmatilah ya Mulyono, sembari menantikan PENGAMPUNAN.
Penulis, INGOT siMANGUNsong, pimpinan redaksi Segaris.co