goresan | ingot simangunsong
AKU pikir jalan sudah tidak terjal. Sudah bisalah sedikit atur nafas, dan agak santai mengatur langkah. Setidaknya, agak berkuranglah rasa pegal-pegal di otot paha dan betis.
TERNYATA, dari jalan mendaki yang jarak tempuhnya 10 kilometer, kini harus memasuki jalan menurun yang di depanku hampir keseluruhannya, hamparan ilalang. Hanya ada beberapa pepohonan kecil.
AKU harus lebih ekstra hati-hati, menyusuri jalan menurun, butuh jaga keseimbangan tubuh. Jika tidak, risikonya ya tersungkur dan boleh jadi jatuh terguling. Apalagi, di kiri-kanan sepanjang jalan, yang dapat dijadikan pegangan, ya hanya ilalang.
Kontroversi dana bantuan: PWI diminta kembalikan Rp 1,7 miliar, Hendry Bangun dapat teguran keras
AKU melirik ke arah Gayus, yang tersenyum.
“Mari hadapi tantangan kedua. Berapa berat badanmu, brother,” tanya Gayus.
“80 kilo..,” jawabku.
“Kalau begitu kau di depan dan aku mengikutimu. Jika kau di belakangku, ketika keseimbanganmu terganggu, dan terjungkal, maka saat kau menggelinding akan menghantam tubuhku,” kata Gayus.
KALAU itu terjadi, dan aku menimpah tubuhnya yang ceking, Gayus bakalan remuk. Yakh, aku pun mengatur posisi di depan.
Aku mulai melangkah. Gayus menyusul dari belakang. Tentu, kami harus lebih hati-hati. dibanding saat jalan menanjak.
Jika tidak karena pesan kakekku yang sedang sekarat, yang meminta aku harus pergi ke kampung halamannya [tempat asal nenek moyang kami], tak akan kulakukan perjalanan ini.
Ada saja permintaan kakekku. Karena, sudah tidak memungkinkan lagi fisiknya bergerak ke kampung halaman, kakek memintaku ke sana untuk mengabadikan [memotret dan memvideokan] rumah peninggalan nenek moyang kami.
HANYA untuk itu saja. Kata kakek, kalau sudah dilihatnya rumah kenangan tersebut, walau hanya sebatas foto atau video, maka akan legalah hatinya untuk segera menghadap ke SANG KHALIKnya.
“Kalau sudah kulihat rumah kenangan itu, walau dalam bentuk foto atau video sekali pun, aku siap untuk memenuhi panggilan pulang dari Sang Khalik,” kata kakek.
ADA-ada saja. Herannya dan tidak berjawab, kenapa kakek memilih aku untuk mengabadikan rumah kenangan itu. Padahal ada 30 cucu dan 15 cicitnya yang mampu melakukannya.
“Kemarin, kakekmu bilang, berapa kilometer jalan turunan ini, baru kita sampai ke perkampungan,” tanya Gayus.
“Lima kilometer..,” jawabku.
*****
SENGAT terik matahari, sudah tepat di ubun-ubun kepala. Pukul 12.00 WIB. Sudah cukup jauh penyusuran jalan dari titik kami bergerak tadi.
AKU dan Gayus berhenti sejenak. Berselonjor meluruskan kedua kaki. Biar agar rileks, sembari minum dan makan camilan.
Kakek bercerita bahwa perkampungan nenek moyang kami itu, berada di Ngarai, bentang alam yang menyerupai lembah yang memiliki sisi (tebing) yang hampir tegak lurus dengan permukaan tanah. Keadaan tebing pada ngarai ini sangat curam. Ngarai dapat terbentuk dari lembah yang terus menerus terkikis air.
Di perkampungan itu, hanya terdapat 5 rumah yang sudah berusia ratusan tahun. Kelima rumah panggung itu, tiang-tiang penyangga dan dindingnya, terbuat dari bahan kayu damar dengan atap ijuk.
Ini untuk pertamakalinya, aku ke kampung halaman nenek moyangku. Bapak dan adik-adikku saja belum pernah berkunjung. Andaikan ikut, bisa-bisa menangis mereka menyusuri medan yang menantang ini. Tajam juga naluri kakek untuk menjatuhkan pilihan kepadaku.
Kami mulai mendengar ada suara desiran air yang sepertinya jatuh dari ketinggian.
“Seperti suara air terjun,” ucap Gayus setengah teriakan. Aku hanya mengangguk.
Sejauh mata memandang, aku melihat ada gapura yang menyerupai pintu gerbang masuk ke perkampungan. Sepertinya, kami bakalan sampai.
Saat melewati gapura, mata kami menangkap hamparan persawahan yang cukup luas. Padi sudah mulai menguning. Kami mulai memasuki jalanan yang datar dan kami ikuti arah jalan untuk mendampatkan titik dimana 5 rumah peninggalan nenek moyang kami.
Ketemu rumah pertama. Menurut kakek, itulah rumah kenangan mereka. Di rumah itu, yang saat ini menempati, adalah keturunan Paman Sukarja.
Lelaki paruh baya sedang berdiri di depan rumah panggung yang demikian kokoh dan besar.
“Assalamualaikum… Pak,” aku menyapa.
“Walaikumsalam…,” jawab lelaki paroh baya itu.
Aku perkenalkan diri dan lelaki paroh baya itu segera memelukku. Kemudian, mengajakku dan Gayus untuk masuk ke rumah.
*****
SETELAH menyampaikan kepada keturunan Paman Sukarja tentang kakek yang sudah berusia 95 tahun, dan menyebut-nyebut akan dipanggil Sang Khalik, aku pun mulai memotret dan rekam video.
Kemudian kucoba melakukan video call dengan kakek dan keluarga, agar mereka dapat melihat bagaimana kondisi perkampungan nenek moyang kami.
Kakek yang paling penting dan terdepan untuk menyaksikan rumah tua, dimana dia pernah menikmati hidup dan kehidupan.
“Terimakasih cucuku… Kutunggu kepulanganmu 3 hari ini. Harus kau yang menyaksikan kepulanganku ke Sang Khalik,” kata kakek.
Aku hanya bisa menggangguk. Amal ibadahnya yang sangat luar biasa itulah, yang boleh jadi dapat mengingatkan kapan waktunya kakek harus pulang menghadap Sang Penciptanya.
Satu hari kemudian, setelah aku sampai di Jakarta dan mendampingi kakek, Sang Khalik benar-benar memanggil kakek.
Rindu kampung halaman nenek moyang, yang disampaikan kakek, adalah pesan moral, agar kami keturunannya tidak melupakan asal-usul.
Setelah pemakaman kakek, kami pun memutuskan untuk berkunjung kembali ke perkampungan nenek moyang, untuk membangun kekerabatan yang lebih dekat dengan keluarga dan suasana kampung halaman nenek moyang.
Kakek mengingatkan kami, bahwa apa yang sudah diraih saat ini, kekayaan dan ketenaran, asal muasalnya adalah Ngarai dimana nenek moyang kami, memulai hidup dan kehidupan yang bertumbuh.
Pematangsiantar, 25 April 2024
penulis goresan, INGOT SIMANGUNSONG, pimpinan redaksi Segaris.co