Diberi Waktu 2 Minggu, atau Dipecat
SISI lain dari ketegasan Pak GM, tidak berkompromi dengan wartawannya yang tidak punya kemampuan dalam menembus narasumber. Juga tidak berkompromi dengan wartawan yang tidak menguasai informasi di wilayah tugas (apakah itu lembaga pemerintahan atau yang lainnya).
Saya—yang ditugaskan di pos kesehatan, meliputi Departemen/Dinas Kesehatan, Rumahsakit dan organisasi kesehatan—wajib menguasai pos ini.
Jika ketinggalan informasi dari media lainnya, akan mendapat teguran dan boleh jadi mendapatkan hukuman. Seperti biasa, dihukum skorsing atau monitoring radio/televisi.
Sekali waktu, saya diminta menghadap Pak GM ke ruang kerjanya.
Seperti biasa, setiap wartawan yang menghadap, selalu dalam posisi berdiri di depan meja kerja Pak GM.
“Kamu berpos di Rumahsakit,” tanya Pak GM. Saya jawab, ya.
“Kamu tahu, apa yang terjadi kemaren malam di salah satu rumahsakit di Medan ini,” tanya Pak GM lagi. Saya jawab, tidak.
Pak GM menyampaikan kepada saya, bahwa seorang dokter ahli syaraf dan bedah syaraf, bernama Adril Arsyad Hakim, yang baru pindah tugas dari Surabaya, telah berhasil menyelamatkan nyawa dokter Erwin Tobing yang mengalami pecah pembuluh darah otak.
Pada saat itu, Erwin Tobing harus diterbangkan ke Singapura untuk penyelamatan, namun waktu 6 jam yang diperlukan, tidak memungkinkan untuk terbang ke Singapura.
Dokter Adril Arsyad Hakim memutuskan untuk menangani penyelamatan Erwin Tobing, dengan menjalani operasi di RSU Herna Jalan Mojopahit, Medan. Hasilnya, nyawa Erwin Tobing terselamatkan.
Hal inilah yang membuat Pak GM merasa tertarik, dan meminta saya untuk mencari dan mewancarai dokter Adril Arsyad Hakim.
“Kamu cari dan wawancarai dokter itu. Saya beri waktu dua minggu, kalau tidak dapat kamu dipecat…” kata Pak GM.
Kalimat terakhir itu, yang membuat saya merasa ketar-ketir. Dua minggu memang waktu yang cukup panjang untuk mencari dokter itu.
Namun, yang saya tahu dan alami selama ini, untuk mewawancarai dokter adalah hal yang sangat sulit karena mereka sangat taat pada kode etik kedokteran, yaitu tidak dibenarkan untuk mempromosikan diri terkait apa yang mereka kerjakan.
Tetapi, Pak GM tidak mau tahu dengan apa pun alasan yang saya sampaikan. Yang dituntut dari para wartawannya, adalah kemampuan menembus berbagai rintangan dalam mendapatkan informasi yang benar, akurat dan dapat dipercaya. Kalau tidak punya kemampuan demikian, sebaiknya mundur atau dipecat.
Tidak ada pilihan, ya harus mengikuti perintah Pak GM. Saya tidak mau mengalah, dan keluar dari SIB dengan status dipecat.
*****
Setelah seminggu mencari tahu dimana dokter Adril Arsyad Hakim bertugas, dan dimana prakteknya, akhirnya saya mengetahui dimana alamat domisilinya yang berdekatan dengan Asrama Glugur Hong, persimpangan Jalan Gaharu dan Jalan Karantina, Medan.
Rumah permanen yang boleh dikatakan besar itu, berada di sebuah gang. Saya mendatangi rumah tersebut, dan dokter sedang berada di rumah untuk siap-siap ke tempat prakteknya.
Karena waktu sangat singkat, saya perkenalkan diri dan dimana bekerja serta apa tujuan saya. Ketika saya paparkan tentang keberhasilan dokter Adril Arsyad Hakim yang menyelamatkan dokter Erwin Tobing dan maksud untuk wawancara, langsung saja ditolak.
“Maaf, saya tidak bersedia diwawancarai. Soal menyelamatkan pasien, itu sudah tugas dan hal biasa yang tidak perlu dipublikasikan. Kemudian, saya harus menghomarmati kode etik profesi saya, sama seperti kamu dengan kode etik kewartawananmu,” kata dokter Adril Arsyad Hakim.
Merasa tidak dapat peluang lagi, saya sampaikan bahwa kalau saya tidak berhasil mewawancarainya, akan dipecat.
Eh, dokter Adril Arsyad Hakim malah mengatakan, soal saya dipecat atau tidak, itu tidak ada kaitan dengan dirinya.
Habislah saya. Apa yang harus disampaikan kepada Pak GM.
Saya pun berharap, Pak GM lupa dan tidak akan menagih tugas yang diembankan ke saya ini.
Namun, pengharapan itu sirna seketika, dan saat bertemu dengan Pak GM, saya diingatkan bahwa waktu tinggal 3 hari lagi.
*****
TIGA hari lagi.
Saya merenung, apa cara yang harus dilakukan untuk dapat menggugah hati dokter Adril Arsyad Hakim.
Sungguh, Tuhan memberi saya jalan, yakni edukasi. Ya, edukasi. Hanya dengan jalan edukasilah, dokter Adril Arsyad Hakim akan bersedia memberikan penjelasan terkait pembuluh darah otak agar tidak pecah.
Saya tidak lagi fokus pada keberhasilannya menyelamatkan nyawa dokter Erwin Tobing, tetapi lebih fokus memberikan edukasi kepada masyarakat untuk tidak mengalami pecah pembuluh darah otak.
Ketika sisi edukasi itu saya sampaikan kepada dokter Adril Arsyad Hakim, benar saja dia menjadi tertarik dan menyatakan bersedia menjelaskan.
Namun, kesiap-sediaannya hampir saja gagal, ketika saya menjawab pertanyaannya terkait dengan pendidikan akhir saya yang hanya SLTA.
“Apakah dengan pendidikanmu yang SLTA, mampu memahami apa yang akan saya jelaskan,” tanyanya.
Saya menjawab, terhadap sesuatu yang kurang paham, saya akan bertanya.
Betapa lega hati saya, akhirnya dokter Adril Arsyad Hakim memaparkan terkait edukasi menjaga pembuluh darah otak agar tidak pecah, dan apa penyebab pecah. Setelah selesai mendengar penjelasan yang hampir dua jam, saya mohon pamit.
Namun, dokter Adril Arsyad Hakim mengingatkan, agar saya tidak menonjolkan dirinya dalam tulisan yang akan diterbitkan.
Setelah menyelesaikan laporan terkait yang ditugaskan, saya menghadap ke Pak GM untuk menyerahkan hasil wawancara dengan dokter Adril Arsyad Hakim.
Batas waktu dua minggu yang ditetapkan, dapat saya penuhi dengan hasil yang membuat Pak GM merasa gembira.
Tulisan yang lumayan panjang itu, keesokannya diterbitkan di Harian SIB di halaman depan dengan mencantumkan nama saya sebagai penulis (by line story).
Yang menggembirakan, saya mendapat telepon dari dokter Adril Arsyad Hakim, yang menyampaikan rasa terimakasih atas tulisan yang menarik dan tidak menonjolkan dirinya.
Kemudian, setelah itu, setiap kali dokter Adril Arsyad Hakim menangani pasien untuk bedah syaraf di bagian kepala, saya dipanggil untuk liputan dengan narasumber pasiennya.
Ya, edukasi…Salah satu peran dari media massa adalah mengedukasi pembaca.
Itu jalan yang menyelamatkan diriku, untuk tidak dipecat Pak GM. Itu juga pendidikan jurnalistik yang diberikan Pak GM untuk tidak mudah menyerah, mental yang kuat, menggunakan nalar, naluri dan instink, serta tajam menembus dan menyakinkan narasumber.
Ancaman dipecat, justru memotivasi saya.
Ya, Pak GM punya cara tersendiri untuk mendidik wartawannya.