Tiga Tahun Menulis Tanpa Honor
TAHUN 1980—boleh dikatakan, saya termasuk pembaca fanatik Harian Sinar Indonesia Baru—yang senantiasa diteriaki penjual Koran, dengan sebutan “SIB”….”SIB”….”SIB”—dan orangtuaku berlangganan tetap.
Jika pengantar koran (loper) lupa mengantarkan Koran SIB ke rumah, maka saya buru-buru membelinya ke kios terdekat. Apalagi untuk terbitan hari Sabtu, saya tidak pernah ketinggalan, karena di edisi Sabtu ada rubrik khusus “Ruang Remaja” yang berisi tulisan berupa Opini/Artikel, Cerita Pendek dan Puisi. Rubrik ini diasuh almarhum Pdt Marganda Tobing, S.Th yang dikenal sebagai Kak Sondang.
Rubrik inilah yang menggelitik naluri kepenulisan saya—apalagi pada momen tertentu orangtua senantiasa membangga-banggakan seorang penulis yang karyanya sering terbit di “Ruang Remaja”. Penulis itu, P Maulim Siltonga—masih ada pertautan persaudaraan sebagai “tulang” (paman)—karena ibu yang melahirkan saya boru Silitonga.
Saya ingin membuktikan, bahwa saya punya kemampuan menulis, seperti apa yang dilakukan P Maulim Silitonga, Naurat Silalahi, almarhum Ulyses Simamora, S Mida Silaban, Demak Shinta Silaban, almarhum Gunawan Tampubolon, Lurus Tarigan, Sintong Silaban dan lainnya.
Tahun 1984, saya memberanikan untuk mengirim tulisan berupa artikel, puisi mau pun cerita pendek. Sayangnya, berulang kali selama setahun, tulisan apa pun yang dikirim dengan nama asli INGOT SIMANGUNSONG, tak satu pun diterbitkan. Bahkan dengan beberapa nama samaran, juga tidak berkenan di hati Kak Sondang.
Kemudian, saya temukan satu nama, yakni ANDREAS, yang selanjutnya dipadukan dengan nama Bresman, serta singkatan MS (dari nama asli Mangapul dan margaku SIMANGUNSONG).
Ternyata, nama ANDREAS BRESMAN MS, mampu menghipnotis Kak Sondang, sehingga tulisan saya berupa Opini/Artikel, Puisi dan Cerita Pendek, mulai menghiasi rubrik “Ruang Remaja”.
Bangga hasil karya diterbitkan di Harian SIB, semakin menggelorakan semangat untuk menciptakan karya-karya terbaru. Hasil karya pribadi itu pun diklipping, agar dapat dibaca ulang. Selanjutnya menambah referensi bacaan buku karya Putu Wijaya, WS Rendra, Buya Hamka, St Iskandar Muda, Chairil Anwar, Eddy D Iskandar dan buku lainnya.
Masa itu, dalam kurun waktu tiga tahun, semangat menulis benar-benar lahir dari sanubari terdalam, tanpa terlintas sedikit pun untuk mendapatkan honor dari tulisan yang diterbitkan. Biaya kertas dan kirim naskah ke Jalan Brigjen Katamso 54 ABCD Kota Medan, ya diminta dari orangtua.
Harian SIB—yang dipimpin almarhum DR GM Panggabean—melalui rubrik “Ruang Remaja”-nya, mampu menggelorakan semangat para remaja, khususnya dari kalangan orang Batak, untuk menunjukkan kemampuan (talenta) kepenulisannya.
Memang pada masa itu, ada tiga media yang sangat konsisten menyediakan halaman khusus bagi para penulis pemula untuk menyalurkan kemampuan menulis, yakni Harian SIB, Harian Waspada dan Harian Analisa.
By Ingot Simangunsong (Andreas Bresman MS)
(Saya, lahir dan besar di Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Alumni SMA Negeri 3 Medan (1979) dan pernah kuliah di IKIP Medan (Jurusan Antropologi, 1982 – 1985). Selama 35 tahun menjadi pegiat jurnalistik. Bermula sebagai wartawan di Harian Sinar Indonesia Baru (SIB, Medan – 1988), Majalah Editor (Jakarta, 1990, selama 1 tahun, majalah ini dibredel pada rezim Soeharto), Majalah Kartini (Jakarta, 1992, selama 13 tahun untuk liputan Sumatera Utara – Nanggroe Aceh Darussalam), Suratkabar Mingguan Persada (Medan, sebagai Redaktur Pelaksana), Harian Global (Medan, 2006-2010, sebagai Redaktur Pelaksana), dan Suratkabar Mingguan Jarakpantau (Medan, 2011 – 2015, sebagai Pemimpin Redaksi). Sekarang ini, saya sebagai pemilik, penanggungjawab dan penulis di segaris.co dan pegiat pergerakan @Rumah Gotong Royong (RGR) Sumut, inisiator @Pena Jokowi Centre Connection) dan pengurus DPP Dulur Ganjar Pranowo (DGP).