Catatan | ingot simangunsong
DALAM sistem hukum pidana Indonesia, asas praduga tak bersalah merupakan prinsip fundamental yang menjamin setiap orang dianggap tidak bersalah hingga adanya putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya.
Dikenal pula dengan istilah presumption of innocence, asas ini menjadi salah satu landasan utama dalam penegakan keadilan dan perlindungan hak asasi manusia.
Asas itu pula, mengharuskan seseorang (pelapor) untuk membuat laporan ke penegak hukum, terkait kasus apa pun yang mengemuka, agar diuji melalui proses hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan hingga pengadilan yang akan menetapkan seseorang bersalah atau tidak.
Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) pertama kali dikenal secara formal di sistem hukum Romawi Kuno, namun penerapannya secara modern dan sistematis mulai terlihat di Perancis melalui Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara (Déclaration des Droits de l’Homme et du Citoyen) pada tahun 1789. Pasal 9 deklarasi tersebut menyatakan bahwa:
“Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai ia dinyatakan bersalah.”
Setelah itu, prinsip ini menjadi bagian penting dalam sistem hukum berbagai negara, terutama melalui pengaruh hukum sipil Eropa dan hukum umum (common law) seperti di Inggris dan Amerika Serikat.
Kini, asas ini juga diakui secara internasional dalam berbagai instrumen HAM seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR).
Di Indonesia, asas praduga tak bersalah diakui dan dijunjung tinggi sebagai prinsip hukum pidana yang fundamental.
Penerapannya tercermin dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan praktik peradilan.
Dasar Hukum di Indonesia:
Undang-Undang Dasar 1945
Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan asas praduga tak bersalah, UUD 1945 menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia, termasuk hak untuk mendapatkan perlakuan adil di hadapan hukum (Pasal 28D ayat 1 dan Pasal 28G ayat 1).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
KUHAP secara tegas menganut asas praduga tak bersalah.
Pasal 8 ayat (1) menyatakan:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Peraturan Kapolri, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung
Lembaga penegak hukum Indonesia seperti Polri, Kejaksaan, dan MA juga menetapkan kode etik dan pedoman penanganan perkara yang mewajibkan aparat untuk menghormati asas ini.
Misalnya, larangan mempublikasikan foto tersangka dengan atribut yang menyesatkan (seperti mengenakan rompi tahanan sebelum putusan pengadilan).
Implementasi Praktis:
Dalam praktiknya, asas ini mewajibkan bahwa:
Tersangka tidak boleh diperlakukan seperti telah bersalah, baik oleh aparat penegak hukum maupun media massa.
Beban pembuktian berada di pihak penuntut umum (jaksa), bukan terdakwa.
Hak-hak tersangka dan terdakwa harus dijamin, seperti hak atas bantuan hukum, hak untuk diam, dan hak untuk mendapatkan peradilan yang adil dan independen.
Tantangan:
Meskipun sudah diatur secara hukum, penerapan asas ini masih menghadapi tantangan di lapangan, terutama dalam:
Pemberitaan media yang cenderung menghakimi tersangka
Tindakan aparat penegak hukum yang menampilkan tersangka ke publik secara tidak manusiawi
Opini publik yang terbentuk sebelum proses pengadilan selesai
Asas praduga tak bersalah bukan hanya norma hukum, tetapi juga wujud penghormatan terhadap martabat manusia.
Penerapannya menuntut komitmen seluruh elemen hukum dan masyarakat untuk menjaga keadilan tetap berjalan objektif dan bermartabat.
Medsos ruang komunikasi publik yang bebas
Kehadiran media sosial [medsos] sebagai ruang komunikasi publik yang bebas memang membawa tantangan serius terhadap penerapan asas praduga tak bersalah dalam sistem hukum Indonesia.
Meskipun media sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengekspresikan opini, kebebasan ini kerap disalahgunakan untuk menghakimi seseorang yang belum terbukti bersalah secara hukum.
Tantangan dari Media Sosial:
Pengadilan oleh Publik (“Trial by Social Media”)
Seseorang yang menjadi tersangka atau bahkan baru diduga terlibat dalam suatu perkara sering kali langsung diviralkan, dicemooh, bahkan dijatuhi “hukuman sosial” sebelum proses hukum berjalan. Ini bertentangan langsung dengan prinsip praduga tak bersalah.
Penyebaran Informasi yang Tidak Terverifikasi
Banyak informasi yang beredar di media sosial tidak melalui verifikasi atau klarifikasi yang memadai, sehingga opini publik terbentuk berdasarkan asumsi, bukan fakta hukum.
Tekanan terhadap Aparat Penegak Hukum
Kekuatan opini publik yang masif di media sosial bisa memengaruhi netralitas penyidikan, penuntutan, bahkan putusan pengadilan karena adanya tekanan untuk “memuaskan” keinginan publik, bukan berdasarkan bukti dan hukum.
Stigmatisasi dan Kerusakan Reputasi
Dampak media sosial bisa jauh lebih cepat dan meluas ketimbang media konvensional. Sekali seseorang dituduh dan viral, reputasinya bisa rusak permanen meskipun pada akhirnya terbukti tidak bersalah.
Solusi dan Tanggung Jawab Bersama:
Pendidikan Literasi Hukum dan Digital
Masyarakat perlu diberikan pemahaman tentang pentingnya asas praduga tak bersalah serta risiko penyebaran informasi yang belum tentu benar.
Etika Jurnalisme dan Influencer
Wartawan, konten kreator, serta tokoh di media sosial harus menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dan etika, serta tidak membentuk opini yang merugikan pihak tertentu sebelum ada putusan hukum.
Peran Aparat Penegak Hukum
Polisi dan kejaksaan harus lebih ketat dalam mengelola informasi yang disampaikan ke publik, agar tidak menimbulkan kesan bahwa seseorang sudah bersalah sebelum persidangan.
Regulasi dan Penegakan Hukum Siber
UU ITE serta aturan lainnya bisa diterapkan untuk menindak penyebaran hoaks, pencemaran nama baik, dan perundungan digital terhadap individu yang belum terbukti bersalah.
Kesimpulannya, media sosial adalah ruang penting dalam demokrasi, tetapi juga harus diiringi dengan tanggung jawab moral dan kesadaran hukum.
Menjaga asas praduga tak bersalah tetap tegak adalah tugas semua pihak — negara, media, dan masyarakat.
Penulis, ingot simangunsong, pimpinan redaksi Segaris.co