MEDAN – SEGARIS.CO – KEPOLISIAN Daerah (Polda) Sumatera Utara (Sumut) kembali membuka Laporan Polisi Nomor: LP/B/364/II/2022/SPKT/Polda Sumut dengan pelapor Dodi Sondang Pasaribu, setelah tiga tahun lebih mengendap di Direktorat Kriminal Umum (Ditkrimum) Polda Sumut.
Kembali dibukanya kasus ini ditandai dengan dilakukannya gelar perkara terhadap kasus pidana tersebut di Ruang Wasditkrimum Polda Sumut, Jalan Sisingamangaraja Km 10,5 Medan, Rabu (05/03/2025).
Hal itu diungkapkan Penasehat Hukum Dodi Pasaribu, DR. Enni Matalena Pasaribu, SH, MH, Mkn. kepada media di kantornya, Jalan Sei Galang, Medan, pasca beberapa jam usai dilakukannya gelar perkara tersebut.
Doktor Hukum alumni Universitas Jayabaya ini menemukan beberapa kejanggalan dalam gelar perkara itu.
Pertama, mengacu pada akta otentik yang dibuat di notaris Nomor 9 tanggal 28 September 2017, yang menyebutkan akan ada perikatan jual beli antara penghadap Jaster Pasaribu dengan Daut Sagala.
Reses II Dasa Sinaga di Huta Pane Toba, aspirasi saluran limbah, banjir dan tembok jalan
“Pada Pasal 2 dikatakan bahwa telah dibayar dengan lunas. Harganya kalau tidak salah Rp980 juta. Kemudian, Sertikat Hak Milik juga sudah diserahkan. Itu tertuang di Pasal 6. Artinya, legalitas dalam perikatan jual beli ini sudah hampir sempurna. Karena perikatan jual beli itu dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),” katanya.
Dijelaskannya, atas adanya aduan pelapor, Dodi Pasaribu, yang menegaskan bahwa telah terjadi pemalsuan tanda-tangan dalam akta tersebut, Pasal 263 dan 266 KUHPidana, maka diujilah tanda-tangan itu di Laboratorium Forensik (Labfor) Polda Sumut.
Lalu keluarlah hasil Labfor-nya di tahun 2023 yang menyatakan tanda-tangan almarhum Jaster Pasaribu non identik pada Akte Nomor 9 Tahun 2017 tersebut.
“Dengan hasil non identik tanda-tangan tersebut, maka ada dugaan kuat peristiwa itu ada kaitannya dengan palsu. Jadi akte itu jadinya palsu karena ada tanda-tangan palsu. Karena tanda-tangan almarhum Jaster Pasaribu dipalsukan. Tapi kita kan belum tahu siapa yang palsukan. Tanda-tangan itulah yang dipakai untuk Akta Jual Beli (AJB). Dalam AJB itu saya baca, si penjual, Jaster Pasaribu memberi kuasa ke si Daud. Sementara si pembeli, Daud juga. Kan lucu itu. Dia penerima kuasa penjual, dia pula lagi pembeli. Kan aneh itu ! Orang yang sama. Maka saya katakan produk itu cacat hukum. Itu sudah alat bukti,” beber Enni yang juga seorang kurator.
Kemudian yang kedua, sambungnya, pada 3 Oktober, ada kejadian disana. Ada penyerahan uang Rp600 juta kepada pihak BPR oleh Leonard. dan BPR menyerahkan sertifikat pada saat itu juga kepada Leonard.
Ini kan bertolak-belakang dengan tanggal 28 September karena pada tanggal 28 itu kan sudah diserahkan sertifikat kepada pembeli.
“Notaris kan harus melihat dulu sertifikatnya baru melakukan pengikatan. Dan memang begitu sebenarnya prosedurnya. Kan ada penyimpangan ini. Kenapa dari tahun 2022 sampai sekarang ini prosesnya cukup lama. Apa masalah dan kendalanya sampz ai proses ini selesai. Kenapa sudah sampai proses sidik belum ada ditentukan pelakunya. Dalam UU Kepolisian maupun Peraturan Kapolri (Perkap), sudah diatur lamanya waktu penyidikan suatu perkara. Kalau sulit sekali, 120 hari,” katanya.
Magister kenotariatan ini juga meminta agar Polda Sumut kerja sesuai dengan on the track dan fakta hukum.
“Jadi kita menduga, ada apa di kepolisian itu sehingga begitu lamanya memproses LP tersebut. Padahal, Pak Kapolri telah menegaskan, siapa yang melanggar hukum harus diproses hukum tanpa pandang bulu. Ini kan karena didesak makanya ditindaklanjuti. Kalau tidak didesak, mungkin dibiarkan sajalah begitu,” katanya.
Dia mencurigai kejadian si Daud meminjam uang ke BPR itu lalu disetujui Rp1,2 miliar. Uang ini kemudian dikirim ke rekening almarhum Jaster Pasaribu.
Setelah dikirim ke rekening Jaster, uang itu pun lalu diambil stafnya si Daud yang mengaku sebagai penerima kuasa dari si Daud. Kejanggalan-kejanggalan ini sebenarnya dapat menjadi pedoman bagi Polda Sumut untuk mendalami dan mempercepat penindakannya.
“Melihat proses tadi, sangat sulit mendapatkan kepastian hukum di negara ini. Prosesnya tidak ada batas waktu, padahal semua itu sudah ada aturannya. Kok tidak profesional yang mengerjakan itu? Maka perlulah ditempatkan orang-orang yang profesional. Tapi dugaan saya, bukan masalah itu. Masalahnya ada intervensi dari pihak yang berkepentingan dalam kasus ini,” tuentasnya. [Sipa Munthe/***]