TOBA – SEGARIS.CO — Kelompok Tani Hutan (KTH) Dolok Silalahi berencana mengembangkan kawasan hutan di puncak bukit Desa Silalahi Pagar Batu, Kecamatan Balige, Kabupaten Toba—dikenal sebagai Puncak Sibodiala—menjadi destinasi wisata alam berbasis agroforestri.
Upaya ini bertujuan menggabungkan sektor pertanian dengan kelestarian hutan guna meningkatkan daya tarik wisata serta memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar.
Wilayah hutan tersebut berada di bawah pengelolaan Unit Pelaksana Teknis Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPT KPH) IV Balige.
Sebelumnya, kawasan ini telah dimanfaatkan sebagai lokasi uji coba olahraga paralayang, yang menawarkan panorama Danau Toba dari ketinggian dan dinilai memiliki potensi besar sebagai destinasi wisata.
Untuk memperoleh legalitas pengelolaan, KTH Dolok Silalahi telah mengajukan permohonan izin pemanfaatan hutan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Proses perizinan saat ini masih berlangsung di KLHK. Surat permohonan telah kami sampaikan sejak awal tahun 2024,” ujar Rinaldi, pendamping dari UPT KPH IV Balige yang membantu kelompok KTH Dolok Silalahi, Kamis (13/02/2025).
Menurut Rinaldi, ia turut mendukung pengurusan izin tersebut karena selain sebagai pecinta alam, ia juga ingin mendorong pengembangan olahraga paralayang di Kabupaten Toba agar sektor pariwisata semakin berkembang.
“Semua yang dilakukan ini bertujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat melalui wisata alam,” katanya.
Terkait luas lahan yang akan mendapat izin pemanfaatan, Rinaldi menegaskan bahwa keputusan sepenuhnya berada di tangan KLHK.
“Saat ini kami masih menunggu jadwal tim KLHK untuk melakukan verifikasi teknis, baik terkait lokasi yang diusulkan maupun keanggotaan kelompok,” jelasnya.
Rinaldi juga menyebutkan bahwa kawasan tersebut sebelumnya memiliki izin dalam bentuk NKK (Nazegahan Kemitraan Kehutanan), namun seiring perubahan regulasi pemerintah, skema tersebut sudah tidak berlaku.
Oleh karena itu, kini pihaknya mengajukan skema Hutan Kemasyarakatan (HKM), yang memungkinkan pemanfaatan lahan untuk wisata alam dan agroforestri.
“Sebelumnya, izin NKK hanya mencakup pengelolaan getah pinus. Kini, kami mengajukan izin untuk pengembangan wisata alam dan agroforestri sesuai aturan yang berlaku,” katanya.
Ia pun mengakui bahwa pengelolaan kawasan hutan tanpa izin dari KLHK tidak dapat dilakukan.
Namun, kegiatan paralayang yang telah dilakukan di lokasi tersebut lebih bersifat uji coba sebagai contoh pemanfaatan lahan bagi pihak kehutanan.
“Secara aturan, memang seharusnya tidak boleh. Namun, ini adalah upaya membangun model pengelolaan kawasan hutan agar bisa dimanfaatkan sebagai destinasi wisata alam,” katanya. [Paber Simanjuntak/***]