catatan | INGOT SIMANGUNSONG
INDEKS Persepsi Korupsi (IPK) menjadi salah satu indikator global yang digunakan untuk mengukur tingkat persepsi korupsi di suatu negara.
Transparency International menetapkan skala IPK dari 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih). Sebuah negara umumnya dianggap “bebas korupsi” jika memiliki skor IPK di atas 65.
Perjalanan Indonesia: Dari 20 ke 30 dalam 20 tahun
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga yang didirikan pada 2003, dibentuk dengan harapan membawa perubahan signifikan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Saat itu, IPK Indonesia berada pada angka 20, mencerminkan tingginya tingkat korupsi di berbagai sektor. Setelah dua dekade, skor tersebut hanya meningkat menjadi 30.
Perbaikan ini, meski pun menunjukkan kemajuan, tergolong lambat dibandingkan harapan masyarakat.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara seperti Singapura (skor IPK 83 pada 2023) atau negara-negara Skandinavia seperti Denmark (skor IPK 90), Indonesia masih tertinggal jauh.
Kegagalan untuk mencapai skor yang lebih tinggi menimbulkan pertanyaan besar tentang efektivitas KPK.
Sebagai lembaga ad-hoc (sementara), KPK seharusnya dibubarkan jika dianggap gagal menjalankan tugasnya. Namun, hingga kini, lembaga ini tetap berdiri tanpa adanya evaluasi signifikan dari Presiden atau DPR RI.
Hal ini memunculkan spekulasi bahwa keberadaan KPK lebih bersifat simbolis ketimbang efektif dalam merombak budaya korupsi secara sistemik.
Mengapa Negara dengan IPK tinggi bisa bebas korupsi?
Beberapa negara telah berhasil mencapai skor IPK di atas 65, bahkan mendekati sempurna.
Contoh negara-negara tersebut adalah:
Denmark (90)
Denmark dikenal memiliki pemerintahan yang transparan, sistem hukum yang kuat, serta budaya politik yang berorientasi pada pelayanan publik.
Pendidikan antikorupsi juga menjadi bagian integral dalam sistem pendidikan mereka.
Selandia Baru (89)
Negara ini memiliki sistem pengawasan internal yang sangat efektif, mendorong transparansi anggaran, dan mengutamakan integritas dalam manajemen pemerintahan.
Singapura (83)
Dengan pendekatan zero tolerance terhadap korupsi, Singapura memberlakukan hukuman berat bagi pelaku korupsi serta memberikan insentif tinggi bagi pejabat yang berintegritas.
Keberhasilan negara-negara ini menunjukkan bahwa IPK yang tinggi memerlukan komitmen penuh dari berbagai elemen: pemerintah, masyarakat, dan penegak hukum.
Indonesia: Apa yang Salah?
Ketergantungan pada KPK: KPK sering dianggap sebagai satu-satunya solusi dalam pemberantasan korupsi. Padahal, tanpa dukungan sistemik dari lembaga penegak hukum lain seperti Polri dan Kejaksaan, perbaikan sulit dilakukan.
Budaya Korupsi yang Mengakar: Korupsi di Indonesia sering kali dianggap “biasa” dan melibatkan banyak pihak, dari tingkat lokal hingga nasional. Hal ini memperumit upaya pemberantasan.
Kurangnya Pengawasan dan Evaluasi: Ketiadaan evaluasi terhadap efektivitas KPK oleh Presiden atau DPR RI menandakan lemahnya komitmen politik dalam pemberantasan korupsi.
PILKADA SAMOSIR, kuasa hukum Paslon Freddy-Andreas bantah tuduhan suap Rp40 miliar
Kesimpulan dan Rekomendasi
Untuk mencapai skor IPK di atas 65, Indonesia membutuhkan reformasi besar-besaran, termasuk:
Memperkuat sistem hukum untuk memastikan pelaku korupsi mendapat hukuman tegas.
Mengintegrasikan pendidikan antikorupsi sejak dini.
Mendorong transparansi anggaran di semua tingkatan pemerintahan.
Melibatkan masyarakat dalam pengawasan pelayanan publik.
Jika KPK gagal menunjukkan hasil signifikan dalam beberapa tahun ke depan, evaluasi keberadaan lembaga ini menjadi langkah yang tak terhindarkan.
Tindakan tegas dari Presiden dan DPR RI sangat diperlukan untuk memastikan Indonesia benar-benar mampu keluar dari jerat budaya korupsi yang selama ini menghambat kemajuan.
Dengan langkah yang tepat, bukan mustahil Indonesia suatu hari nanti bisa bergabung dengan daftar negara-negara yang bersih dari korupsi.
Namun, untuk itu, diperlukan keberanian politik dan kesadaran kolektif yang lebih kuat.
******
“Harapan Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan Prabowo Subianto”
DENGAN terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden, publik memiliki harapan besar terhadap langkah-langkah konkret untuk memberantas korupsi yang telah menjadi tantangan utama bagi Indonesia.
Mengingat latar belakangnya sebagai tokoh militer dan pemimpin dengan reputasi tegas, banyak yang berharap pemerintahan Prabowo akan membawa perubahan dalam membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan bebas korupsi.
Harapan Utama dalam Pemberantasan Korupsi
Penguatan kelembagaan pemberantasan korupsi
Diharapkan Prabowo mendukung penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen yang mampu bekerja tanpa intervensi politik.
Melakukan reformasi di lembaga-lembaga penegak hukum lain seperti Polri, Kejaksaan Agung, dan pengadilan untuk memastikan pemberantasan korupsi berjalan sinergis.
Peningkatan transparansi dan akuntabilitas
Pemerintahan Prabowo diharapkan mampu mengimplementasikan teknologi informasi untuk memastikan transparansi di sektor pelayanan publik, pengadaan barang dan jasa, serta pengelolaan anggaran.
Mendorong keterbukaan informasi publik sehingga masyarakat dapat berperan aktif dalam mengawasi penggunaan anggaran pemerintah.
Komitmen menindak tegas koruptor tanpa pandang bulu
Publik menginginkan komitmen yang tegas dari Presiden untuk memproses hukum siapa pun yang terlibat korupsi, termasuk pejabat tinggi, partai politik, atau orang-orang di lingkaran kekuasaan.
Penegakan hukum yang adil dan tanpa kompromi akan menjadi fondasi penting dalam membangun kepercayaan masyarakat.
Reformasi Sistem Politik dan Birokrasi
Prabowo diharapkan mampu mengatasi masalah politik biaya tinggi yang sering menjadi pintu masuk praktik korupsi.
Memperbaiki sistem perekrutan dan promosi di birokrasi untuk memastikan pejabat yang menduduki posisi strategis adalah individu yang kompeten dan berintegritas.
Edukasi dan Pencegahan Korupsi
Selain penindakan, pemerintah Prabowo perlu mendorong pendidikan antikorupsi di berbagai lapisan masyarakat, mulai dari sekolah hingga masyarakat umum.
Menguatkan budaya integritas di pemerintahan dengan memberi penghargaan kepada pejabat atau lembaga yang berhasil menunjukkan kinerja bersih dan transparan.
Tantangan yang harus dihadapi
Pemberantasan korupsi bukanlah tugas yang mudah, terutama di negara seperti Indonesia yang memiliki sistem politik kompleks dan budaya korupsi yang telah mengakar.
Tantangan yang mungkin dihadapi oleh Prabowo antara lain:
Resistensi dari Elite Politik: Beberapa elite yang memiliki kepentingan mungkin mencoba menghambat reformasi yang akan merugikan mereka.
Birokrasi Lamban dan Korup: Perubahan budaya birokrasi membutuhkan waktu dan komitmen yang konsisten.
Kurangnya Dukungan Masyarakat: Jika masyarakat tidak dilibatkan secara aktif, pemberantasan korupsi akan sulit mendapat momentum.
Potensi Prabowo dalam membangun pemerintahan bersih
Latar belakang Prabowo sebagai pemimpin dengan pendekatan disiplin dan ketegasan dapat menjadi modal utama dalam mendorong reformasi.
Jika ia mampu mengimplementasikan kebijakan antikorupsi yang tegas dan sistemik, pemerintahannya berpotensi memperbaiki citra Indonesia di mata dunia, termasuk meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang saat ini masih rendah.
Pemerintahan Prabowo Subianto membawa harapan baru bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.
Dengan pendekatan yang komprehensif—meliputi penguatan lembaga, reformasi birokrasi, penegakan hukum, dan edukasi masyarakat—Indonesia dapat mulai membangun sistem pemerintahan yang bersih dan terpercaya.
Namun, keberhasilan langkah ini sangat bergantung pada keberanian politik, komitmen yang konsisten, dan dukungan masyarakat luas.
Jika Presiden Prabowo berhasil memenuhi harapan ini, Indonesia tidak hanya akan mencatatkan kemajuan dalam pemberantasan korupsi tetapi juga membuka jalan menuju pemerintahan yang lebih transparan dan berintegritas.
Penulis, INGOT SIMANGUNSONG, Pimpinan Redaksi Segaris.co