MEDAN – SEGARIS.CO – KEKERASAN seratusan oknum prajurit TNI AD dari Batalyon Artileri Medan (Armed) 2/105 Kilap Sumagan pada Jumat (08/11/2024) malam, fakta gagalnya negara memberikan perlindungan dan penghormatan HAM terhadap warganya.
Padahal, hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa, merupakan hak yang dikelompokkan dalam kategori non-derogable right, yang artinya hak tersebut tidak bisa dikurangi oleh siapapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun.
Selain dilindungi konstitusi pada Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, hak tersebut juga tertuang dalam Pasal 4 UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Bahkan kovenan Internasional Tentang Hak Sipil Politik (Sipol) dan telah diratifikasi kedalam UU No 12 Tahun 2005 juga menegaskan hal yang senada.
Praktik kekerasan yang dipertontonkan oknum prajurit TNI AD itu terhadap warga masyarakat Desa Selamat, Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara (Sumut), yang menyebabkan beberapa warga sipil mengalami luka ringan dan berat, ada juga yang meninggal dunia akibat bacokan senjata tajam, Raden Barus, berusia 61 tahun.
Isu Nasional pemerintahan Prabowo Subianto, politik, sosial, ekonomi, dan budaya
Kekerasan itu merupakan tindakan bar-bar dan brutal. Alasan apapun tidak dibenarkan atas tindakan tersebut mengingat Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan entitas dalam menjaga, menegakkan kedaulatan negara dan mempertahankan keutuhan wilayah negara kesatuan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 UU No 34 Tahun 2004 Tentang TNI.
Keprihatinan ini disampaikan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Wilayah Sumut, dalam siaran persnya, yang diterbitkan di Medan, Rabu (13/11/2024).
Direktur Eksekutif PBHI Sumut, Ganda Maruhum Napitupulu, SH, MH, mengingatkan, prajurit yang dilatih dan dipersiapkan untuk tempur, sangat berbahaya ketika melakukan serangkaian tindakan kekerasan yang ditujukan langsung terhadap masyarakat sipil.
Diungkap Ganda, dari catatan Imparsial, setidaknya sepanjang tahun 2024 terjadi 25 praktik kekerasan terhadap masyarakat sipil yang diduga melibatkan oknum anggota TNI.
Angka tersebut terbilang tinggi mengingat fungsi TNI merupakan fungsi pertahanan yang hakikatnya dalam operasi tidak dihadapkan dengan warga sipil.
“Praktik serupa akan terus meningkat bila negara melakukan pembiaran dan abai terhadap tanggungjawabnya dalam memberikan Perlindungan, Penghormatan, dan Pemenuhan Hak Asasi terhadap warga negara. Atas tragedi kekerasan yang terjadi di Desa Selamat, Kecamatan Sibiru-biru tersebut, PBHI Sumut yang perduli terhadap penegakan hukum dan HAM, mengecam keras aksi peradilan jalanan seratusan oknum prajurit TNI AD dari Yon Armed 2/105 Kilap Sumagan itu yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan sejumlah korban luka serius serta hilangnya rasa aman bagi warga sekitar,” tegas Ganda.
PBHI Sumut, imbuhnya, mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk segera melakukan penyelidikan terhadap indikasi adanya pelanggaran HAM berat dalam bentuk kejahatan atas kemanusiaan (crime againt humanity).
Terhadap proses penegakan hukum yang sedang berjalan serta mengingat Pasal 65 Ayat (2) UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI dengan tegas menyebutkan bahwa “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.
“PBHI Sumut meminta proses hukum yang adil dan transparan terhadap tindakan bar-bar itu, serta terhadap seluruh pelaku agar diadili pada Peradilan Umum. Berkaitan dengan hal tersebut, sudah saatnya DPR RI melakukan revisi terhadap UU No 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Selain menjadi mandat dari UU TNI, revisi tersebut menjadi penting sebab selama ini diduga sistem peradilan militer menjadi sarana praktik impunitas,” tegasnya lagi.
Hak Saksi dan Korban
Ganda meminta, terhadap warga masyarakat Desa Selamat, Kecamatan Sibiru-biru, yang menjadi korban kekerasan, berhak mendapatkan perlindungan fisik, hukum dan pendampingan secara hukum. Selain itu juga terhadap saksi dan korban yang trauma melalui Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban (LPSK) berhak atas bantuan medis, psikososial bahkan hak restitusi atau kompensasi (ganti kerugian) terhadap apa yang dialami.
“Oleh sebab itu Saksi dan Korban tidak perlu takut untuk memberikan kesaksian serta memperjuangkan hak sebagai korban. Saksi dan korban berhak atas perlindungan. Undang-Undang No 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 5 (1) “Saksi dan Korban berhak: a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya,” katanya. (Sipa Munthe/***)