catatan | ingot simangunsong
Kata “BAJINGAN” belakangan menjadi sorotan publik setelah diteriakkan secara serempak di Stadion Gelora Bung Karno (GBK).
Suara pekikan ini menggema, memberikan efek yang mendalam bagi mereka yang memahami arah dan maksud dari kata tersebut.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “bajingan” diartikan sebagai penjahat, pencopet, atau makian untuk orang yang dianggap tidak sopan.
Namun, jika ditilik dari perspektif budaya Jawa, makna asli dari kata ini telah mengalami pergeseran yang cukup signifikan.
Kata “bajingan” diperkirakan muncul pertama kali di wilayah Jawa, khususnya di Jawa Tengah, sebelum era kekuasaan Sultan Agung.
Susanti Dewayani bahagia melihat jemaat GKPS berkumpul penuh kekeluargaan dan persatuan
Pada masa itu, peran “bajingan” sangat vital dalam kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan Jawa, yang sebagian besar bekerja sebagai petani.
Gerobak sapi, sebagai moda transportasi utama saat itu, digunakan untuk mengangkut hasil panen dalam jumlah besar.
Orang yang bertugas mengemudikan gerobak sapi inilah yang disebut “bajingan”.
Menurut pendiri Paguyuban Gerobak Sapi Langgeng Sehati di Bantul, istilah “bajingan” berasal dari nama tokoh legendaris, MBAH JINGAN, yang dikenal sebagai pelopor penggunaan gerobak sapi di Jawa.
MBAH JINGAN merupakan sosok yang berani dan serba bisa, mulai dari bertani hingga menjadi pengendali gerobak sapi.
Seiring berjalannya waktu, sebutan “Mbah Jingan” mengalami perubahan menjadi “BA JINGAN“.
Dalam percakapan sehari-hari, orang sering bertanya, “Mbah Jingane endi?” (Di mana Mbah Jingan?), yang kemudian berubah menjadi “Ba Jingane endi?”. Dari sinilah kata “bajingan” berkembang hingga dikenal seperti sekarang.
Bagi masyarakat Bantul, kata “bajingan” memiliki makna yang sangat dalam, terutama bagi para pengemudi gerobak sapi.
Selain itu, istilah ini juga mengandung filosofi spiritual, yang menggambarkan seseorang yang tetap taat beribadah meskipun sering bepergian.
Dalam pandangan mereka, “bajingan” merujuk pada “bagusing jiwo angen-angen ning pangeran,” yang berarti seseorang dengan jiwa yang baik di mata Tuhan, terutama mereka yang bekerja sebagai pengemudi gerobak sapi dengan karakter yang baik dan tidak melupakan kewajiban ibadahnya.
Namun, KBBI mengasosiasikan kata “bajingan” dengan “bajing,” hewan pengerat yang kerap dianggap pengganggu karena sering mencuri kelapa.
Dari sinilah makna negatif “bajingan” berkembang, merujuk pada orang yang berperilaku buruk dan mengganggu ketertiban masyarakat.
Oleh karena itu, banyak orang yang memahami kata “bajingan” dari sudut pandang KBBI tanpa mengetahui akar sejarah dan makna aslinya.
Padahal, kata ini memiliki sejarah panjang dan nilai budaya yang jauh dari sekadar makian.
Penulis, INGOT SIMANGUNSONG, pimpinan redaksi Segaris.co