JAKARTA — SEGARIS.CO — Presiden terpilih Prabowo Subianto kembali menegaskan komitmennya untuk membentuk Kabinet Zaken jika ia terpilih sebagai presiden.
Juru bicara Partai Gerindra, Ahmad Muzani, mengungkapkan bahwa Prabowo menginginkan kabinetnya diisi oleh para profesional yang memiliki keahlian di bidang masing-masing, bukan sekadar perwakilan partai politik.
“Pak Prabowo menginginkan pemerintahan berbentuk Kabinet Zaken, di mana yang menjabat adalah para ahli di bidangnya, meskipun mereka berasal atau diajukan oleh partai politik,” ujar Muzani saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (09/09/2024).
Ia menambahkan, hal ini dilakukan agar setiap kementerian dipimpin oleh individu yang kompeten dan sesuai dengan kebutuhan kementerian tersebut.
Lebih lanjut, Muzani menjelaskan bahwa partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju telah mulai mengajukan calon menteri.
Nama-nama yang diserahkan tersebut kemudian diseleksi untuk memastikan mereka memenuhi kriteria yang diharapkan.
“Koalisi sudah mulai mengajukan nama-nama calon menteri, serta portofolio kementerian yang diminati. Proses penjaringan dan seleksi telah dilakukan untuk memutuskan siapa yang akan mengisi posisi tersebut,” jelasnya.
Kabinet Zaken dikenal sebagai kabinet yang anggotanya dipilih berdasarkan keahlian dan kompetensi, bukan karena afiliasi politik.
Tujuannya adalah untuk menciptakan pemerintahan yang lebih efektif dan efisien dengan fokus pada kapabilitas individu.
Gagasan mengenai Kabinet Zaken sebenarnya bukanlah hal baru di Indonesia.
Konsep ini muncul pada awal kemerdekaan sebagai respons terhadap instabilitas politik yang sering mengakibatkan jatuh bangunnya kabinet karena tekanan politik dan perpecahan antarpartai.
Dalam sejarah Indonesia, terdapat tiga Kabinet Zaken yang pernah terbentuk setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat (RIS) dan kembalinya negara ke bentuk Republik Indonesia.
Kabinet-kabinet tersebut adalah Kabinet Natsir, Kabinet Wilopo, dan Kabinet Djuanda.
Kabinet-kabinet ini dibentuk sebagai respons terhadap ketidakstabilan politik antara tahun 1950 hingga pasca-Pemilu 1955, yang sering disebut sebagai pemilu paling demokratis di Indonesia.
Pada masa itu, banyaknya partai politik yang terlibat menyebabkan tingginya potensi kerawanan politik, sehingga pemerintahan harus bergantung pada koalisi antarpartai.
Situasi ini lambat laun menurunkan kepercayaan publik, yang menganggap partai politik dan parlemen lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri daripada kepentingan rakyat. [RE/***]