MEDAN – SEGARIS.CO – SEJUMLAH tokoh masyarakat Sumatera Utara, termasuk politikus, akademisi, aktivis, dan kelompok sipil lainnya, menegaskan penolakan terhadap program pemerintah yang mengalokasikan 1 juta hektare lahan pertanian di Kalimantan Tengah untuk dikelola oleh Cina.
Dalam diskusi yang diinisiasi oleh Koorwil Pusat Monitoring Politik dan Hukum Indonesia (PMPHI) Sumatera Utara, Gandi Parapat pada Senin (06/05/2024), banyak efek negatif dari kerjasama dengan Cina dalam program tersebut yang diungkap.
Menurut Gandi Parapat, program tersebut aneh dan tidak layak, namun rakyat dipaksa menerimanya.
“Aneh ini menurut kami, tapi mau tidak mau kami ikut,” ujarnya membuka diskusi yang dimulai dengan nyanyian Indonesia Raya.
Namun, audiens tidak sepakat dengan pandangan tersebut dengan alasan utama mengenai eksistensi dan populasi Cina di Kalimantan yang akan bertambah, menyebabkan keprihatinan akan kedaulatan tanah Indonesia, terutama bagi petani yang tidak memiliki tanah.
Prof Togu Harlen Lumban Raja, Rektor Institut Bisnis dan Komputer Indonesia, menyoroti bahwa jika 1 juta hektare tersebut diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia, akan ada sekitar 500 ribu kepala keluarga yang mendapatkan tanah untuk diolah di Kalimantan.
Alexander Fasha, seorang peserta diskusi, mengungkapkan kesedihannya terhadap cara berpikir pejabat di Indonesia, menyebut bahwa Indonesia mampu mengelola tanahnya tanpa bantuan Cina, mengacu pada program transmigrasi yang pernah digaungkan oleh Presiden Soeharto.
Diskusi juga menyoroti potensi risiko terhadap keamanan teritorial Indonesia dengan kehadiran Cina, mengingat penduduk Cina yang rata-rata memiliki kewajiban militer.
Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa kehadiran Cina bisa menjadi ancaman terhadap kedaulatan NKRI.
Dalam kesimpulan, para peserta diskusi, termasuk Direktur MATA Pelayanan Publik, Abyadi Siregar, menegaskan bahwa pemberian proyek 1 juta hektare lahan persawahan kepada Cina dianggap merendahkan institusi pendidikan pertanian di Indonesia, khususnya Institut Pertanian Bogor (IPB).
Dalam menghadapi persoalan ini, Abiyadi Siregar menyarankan langkah yang sederhana namun tegas, yakni menentang keputusan tersebut.
“Hanya ada satu kata, lawan,” kata Abiyadi Siregar, disambut oleh dukungan dari berbagai pihak yang hadir dalam diskusi tersebut. [Rilis/RE/***]