goresan | ingot simangunsong
SUDAH pukul 21.30 WIB. Musik hingar-bingar itu, masih ngedentam-ngedentum. Ada 15 pasangan yang kelihatan asyik mengikuti irama hingar-bingar itu.
Di pojok teras rumah, Askia sesunggukan, dengan menahan suara, agar tidak terdengar pasangan lainnya. Padahal, kalau pun tangisnya Askia meledak keras, pasti tak mampu melebihi hingar-bingar suara musik.
Seharusnya, Askia melepas bebas tangisnya, agar plong dan lepas beban yang menyesak dada.
“Kamu ini sedang menangisi apa, Askia,” tanya Dwita.
“Aku sedang menangisi keputusan MK yang begitu menyakitkan. Aku harus seperti apa membuktikan kecurangan-kecurangan yang kuhadapi selama ini,” kata Askia.
“Gila kau, sejak kapan pula kau begitu peduli dengan MK, konstitusi apa yang sedang terlanggar dan melibatkan perasaanmu, Askia. Sadar Askia, kita ini penjajah cinta, bukan berada di lingkaran politik,” kata Dwita.
“Siapa yang katakan aku sedang menangisi konstitusi, atau apa pun itu… MK yang kutangisi itu bukan berkaitan dengan konstitusi. MK yang kutangisi itu, si Mat Kolor,” kata Askia.
Dwita tersenyum sembari ngakak terkikik-kikik.
“Ada apa dengan MKnya Mat Kolor. Apa yang kau alami bersamanya,” kata Dwita.
“Itulah yang jadi masalah, ketika kutuntut kelanjutan hubungan kami, malah dimintanya aku harus membuktikan hubungan kami yang TSM,” kata Askia.
“Apa pula itu TSM,” tanya Dwita.
“T itu terstruktur, S itu sistemik dan M itu masiv… padahal kami itu kan, berhubungan karena enak sama enak, Dwi,” kata Askia.
“Akh… gila kali pun, tak masuk akalku pun. Kau lupakan sajalah si MK itu, emangnya hanya dia saja, tempat bagimu untuk menyelesaikan atau mendapatkan yang enak-enak,” kata Dwita.
Dwita meninggalkan Askia dengan MK, Mat Kolor-nya.
Dwita membatin, “Waktu menikmati enak-enaknya tak pernah cerita. Giliran menjerit, masak awak yang mendengar tangisnya.”
Pematangsiantar, 23 April 2024.