catatan | INGOT SIMANGUNSONG
PARTITUR — bentuk tertulis atau tercetak dari komposisi musik suatu lagu atau karya musik instrumen, yang berisikan simbol-simbol notasi musik untuk melambangkan nada, ritme, atau akor dari karya musik — yang merupakan alat pandu, dan ketika tak tertampilkan, maka karya musik menjadi tak bermakna atau hampah. Musik tak berpartitur.
Bagaimana dengan partitur POLITIK? “Kita hidup dalam demokrasi tanpa partitur,” kata Rocky Gerung saat diundang Budayawan, Jaya Suprana dalam dialog kebangsaan bertema “Teknologi, Humanisme dan Kebudayaan” di Auditorium Jaya Suprana School of Performing Arts di kawasan Mall Of Indonesia, Sabtu (29/02/2024).
Politik tanpa partitur, ya tak politik namanya. Ketika partitur tak melakoni perannya dalam menjaga lorong-lorong atau gorong-gorong politik, yang muncul, adalah bagaimana membangun kekuasaan, bagaimana membenamkan kaderisasi, bagaimana mengandaskan kesempatan dengan penyanderaan dan bagaimana memaksakan yang tidak layak menjadi dilayak-layakkan.
Politik mengabaikan partitur, yang menonjol adalah kepentingan pribadi, kelompok dan partai.
Makanya, politik tanpa partitur, tidaklah politik yang berpolitik. Bagaimana kualitas keberpolitikan dapat menentukan jalannya, jika partitur tidak diberi ruang yang benar, dan terkuatkan.
Politik tidak berpartitur, tidak membutuhkan rekam jejak, tidak membutuhkan pengkaderan berjenjang yang dimulai dari ranting dan bahkan tidak respek pada kenestapaan rakyat.
Oknum pejabat di Samosir dilaporkan ke Polisi karena tindak pidana penipuan dan penggelapan
Kebisingan politik yang lahir dari ketidakteraturan partitur, dampaknya ya semakin menjamurnya pola pikir para oknum, yakni bagaimana membangun kekuatan atau kekuasaan dengan cara apa pun.
Partitur politik itu, berkaitan erat dengan cita rasa kemanusiawian, keadilan, bagaimana memberikan atau melahirkan kesejahteraan, rasa aman dan nyaman. Partitur politik itu, lebih condong pada filosofi politiknya.
Misalnya bagaimana menerjemahkan dengan pikiran jernih tentang setiap warga negara diberi kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri.
Kesempatan yang dimaksud dalam konteks partitur politik, adalah untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan [rakyat] yang sejahtera, tidak sebatas mensejahterakan diri sendiri, kelompok atau partai.
Politik tanpa partitur, ya tidaklah politik sejatinya politik. Partitur politik, terpelihara dan terjaga, menjadi tanggungjawab pimpinan partai politik dari tingkat pusàt hingga ke pimpinan tingkat ranting.
Salah satu partitur yang patut dijunjung setinggi-tingginya, adalah; bagaimana kaderisasi partai politik dijadikan sebagai barometer dalam menetapkan pencalonan seorang warga negara sebagai presiden/wakil presiden, gubernur, bupati, wali kota mau pun anggota legislatif, judikatif dan eksekutif.
Jika kaderisasi, diabaikan sebagai partitur politik, betapa sia-sianyalah struktur keorganisasian yang terbangun di partai-partai politik. Betapa sia-sianya apa yang disebut-sebut sekolah politik, bimbingan teknis keorganisasian dan rekam jejak loyalitas.
Jika masih ada rasa pada partitur politik, sesungguhnya patut dicernah filosofi “Kita hidup dalam demokrasi tanpa partitur,” yang disampaikan Rocky Gerung.
Pematangsiantar, 20 April 2024
Penulis, INGOT SIMANGUNSONG, Pimpinan Redaksi Segaris.co