JAKARTA – SEGARIS.CO – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengungkapkan bahwa sekitar 90 persen kasus korupsi yang ditangani oleh lembaga antirasuah tersebut berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa.
“Dalam persidangan kasus korupsi, hampir 90 persen berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa. Kasus korupsi seperti gratifikasi dan penyuapan, ketika ditelusuri lebih lanjut, seringkali terkait dengan pengadaan barang dan jasa. Misalnya, kontraktor yang ingin mendapatkan proyek dengan menyuap atau membeli proyek dengan memberikan gratifikasi,” ujar Alex dalam Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pencegahan Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Rabu (06/03/2024).
Data KPK mencatat bahwa hingga 10 Januari 2024, lembaga tersebut telah menangani 1.512 kasus korupsi, di mana 339 kasus di antaranya terjadi di sektor PBJ, menjadikannya kasus terbanyak kedua setelah kasus penyuapan.
Oleh karena itu, Alex menekankan pentingnya upaya strategis untuk menciptakan sistem pengadaan yang transparan dan mampu mencegah korupsi.
Alex juga menyoroti bahwa sejak dulu berbagai upaya korupsi di sektor PBJ telah dilakukan, termasuk lelang berbasis elektronik melalui e-procurement. Namun, dalam perjalanannya masih banyak modus penyimpangan yang terjadi.
“Dulu lelang PBJ lewat e-procurement, namun dengan mudah diakali. Para vendor dengan mudah berkolusi di luar, membuat kesepakatan, dan menentukan pemenang lelang. Bahkan, dokumen lelang sudah diatur dalam satu komputer,” papar Alex.
Alex juga mengimbau agar modus penyelewengan pada platform digital pengadaan perlu diawasi secara intensif oleh Inspektorat atau Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) di berbagai instansi.
Tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) telah meluncurkan sistem pengawasan e-katalog atau e-audit yang mulai diterapkan untuk pengadaan barang dan jasa (PBJ) tahun 2023-2024.
Sistem pengawasan ini dibangun melalui kerjasama Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang menyediakan data transaksi yang bersifat anomali atau berisiko fraud, yang dapat digunakan sebagai dasar penelitian awal dalam kegiatan audit PBJ. [RE/***]