Catatan | Ingot Simangunsong
MANTAN Presiden RI Ke-6, Soesilo Bambang Yudhoyono [SBY], menerbitkan buku terbarunya yang diberi judul “Pilpres 2024 dan Cawe-cawe Presiden Jokowi,” dan telah resmi dirilis pada tanggal 26 Juni 2023.
Buku sebanyak 24 halaman ini, dikhususkan untuk kader Partai Demokrat dan berisi pandangan SBY mengenai berbagai isu terkait Jokowi menjelang kontestasi politik tahun 2024.
Buku yang ditulis dalam rentang waktu yang singkat ini, menyoroti lima poin penting yang menjadi perhatian SBY, yang juga dikenal sebagai ayah dari Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas Yudhoyono dan AHY.
Poin pertama adalah mengenai desas-desus bahwa Jokowi akan ikut campur dalam urusan Pilpres 2024.
Poin kedua, tersiarnya kabar bahwa Jokowi berharap agar Pilpres 2024 hanya diikuti oleh dua pasangan calon (paslon).
Poin ketiga, terdapat pandangan bahwa Jokowi tidak menyukai dan tidak menginginkan Anies Baswedan menjadi calon presiden dalam Pilpres 2024.
Profesor Jun Honna: “Prabowo akan berusaha kurangi pengaruh Jokowi”
Poin keempat membahas isu mengenai dukungan yang diberikan oleh Jokowi kepada beberapa pihak untuk maju dalam Pilpres 2024, dan poin terakhir membicarakan peran Jokowi yang dianggap sangat menentukan dalam menentukan pasangan capres dan cawapres yang akan diusung dalam kontestasi politik tahun ini.
Di buku tersebut – SBY menyampaikan bahwa cawe-cawe, identik dengan apa yang disebut dengan sebuah tindakan. Kemudian, SBY menyebutkan bahwa tindakan itu, ada yang nuansanya positip mau pun negatif.
Kemudian, SBY memaparkan bagaimana dirinya juga cawe-cawe dalam kasus KPK – Polri, yang dianalogikan sebagai perseteruan antara CICAK melawan BUAYA.
“Kalau meminjam istilah cawe-cawenya Pak Jokowi, yang saya lakukan dulu mungkin juga termasuk cawe-cawe yang berkonotasi positif.” [Begitu dijabarkan SBY dalam bukunya tersebut.]
Satu catatan kecil, begitu tulis SBY di bukunya, ketika saya tengah menyelesaikan persengketaan tersebut secara maraton, di Jakarta ada unjuk rasa yang lumayan besar dengan membawa spanduk KPK (Ke Mana Presiden Kita). Tetapi saya tidak berang, karena lebih baik saya hemat bicara dulu agar kerja yang saya lakukan tidak gagal.
Singkat kata, benturan dapat diakhiri. Saya tak melampaui kewenangan yang saya miliki. Saya tidak masuk wilayah hukum yang menjadi kewenangan penegak hukum (penyelidik, penyidik, penuntut dan pemutus tuntutan).
Berarti saya tidak melakukan “abuse of power”. Juga tidak melanggar konstitusi dan undang -undang. Saya pikir… ini termasuk cawe-cawe yang positif. Positive intervention.
Pak Jokowi, atau pun pihak Istana, mengatakan bahwa beliau memang akan melakukan cawe-cawe dalam Pilpres 2024. Tetapi, itu cawe-cawe yang baik dan demi kepentingan bangsa dan negara.
Nah, terhadap hal itu, SBY melalui bukunya, menyampaikan pendapat: bahwa sah-sah saja Presiden Jokowi mengatakan atau berbuat begitu. Apalagi kalau cawe-cawe yang beliau lakukan adalah cawe-cawe yang baik, yang positif.
Saya pikir kita tidak boleh serta merta mengatakan bahwa apa yang dilakukan Pak Jokowi itu tidak baik atau salah.
Meski pun saya memiliki pandangan yang secara fundamental berbeda dengan beliau, tak boleh saya mengatakan bahwa yang Pak Jokowi lakukan tidak baik, sebaliknya yang saya lakukan dulu yang lebih baik.
Saya menghormati pilihan beliau. Untuk diingat memangpada Pilpres 2014 dulu saya memilih bersikap netral, dan mempersilahkan baik pasangan Pak Jokowi bersama Pak Jusuf Kalla maupun pasangan Pak Prabowo bersama Pak Hatta Rajasa untuk berkompetisi secara sehat dan demokratis.
Nah, tentang kata-kata bahwa cawe-cawe yang akan dilakukan itu demi kepentingan bangsa dan negara, mungkin ini yang Pak Jokowi perlu berhati-hati. Dalam mengartikan kepentingan bangsa dan negara, khususnya jika dikaitkan dengan Pilpres 2024 mendatang harus tepat dan tidak bias.
Kepentingan nasional (national interest), tidaklah sama dengan kepentingan politik seorang Presiden atau kepentingan politik sebuah parpol atau pihak mana pun.
Banyak literatur yang mendefinisikan kepentingan Negara dalam tingkatan mulai yang bersifat hidup matinya sebuah negara (survival interest), disusul dengan kepentingan negara yang vital (vital interests) dan kemudian disusul dengan kepentingan besar (major interests) dan seterusnya.
Terjaminnya keselamatan, kedaulatan dan keutuhan NKRI misalnya itu adalah survival interests.
Terlindunginya keamanan negara dan terjaganya ekonomi nasional sering diidentikkan dengan vital interest. Jadi, kalau mengatakan bahwa cawe-cawe itu demi kepentingan bangsa dan Negara perlulah rakyat Indonesia diyakinkan bahwa cawe-cawe Presiden Jokowi benar-benar demi kepentingan bangsa dan negara.
Karena dalam Pilpres mendatang rakyatlah yang akan memilih presiden mereka untuk periode 5 tahun ke depan. Bukan Presiden, bukan MPR, bukan partai politik, bukan pula kalangan orang-orang kaya dalam iklim plutokrasi (money talks).
Sekali lagi yang memilih adalah rakyat Indonesia, pemegang kedaulatan yang sejati.
AHY pun ketiban jabatan Menteri ATR/BPN
Buku SBY tersebut, saya dapatkan dari seorang teman di Jakarta, yang dikirimkan dalam bentuk dokumentasi [PDF] di saat putra SBY, yakni AHY [Agus Harimurti Yudhoyono], dilantik Presiden Jokowi sebagai Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menggantikan Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto yang juga dilantik sebagai Menko Polhukam menggantikan Mahfud MD, di Istana Negara pada Rabu (21/02/2024).
Teman saya itu, tidak membuat catatan apa pun atas buku yang dikirimnya. Kupahami saja, bahwa teman saya, sedang “merangsang” arus nalar saya, dalam memaknai dua momen, yakni Buku SBY dan jatah jabatan menteri untuk putranya AHY yang juga Ketua Umum Partai Demokrat.
Buku yang ditulis dan diterbitkan SBY dengan judul “Pilpres 2024 dan Cawe-cawe Presiden Jokowi” itu, ternyata mendapat perhatian serius dari Presiden Jokowi, sehingga memiliki nilai tawar cukup tinggi, yakni memberikan ruang bagi Partai Demokrat [AHY] untuk masuk ke dalam Kabinet Jokowi, sebagai Menteri ATR/BPN.
Walau hanya tinggal beberapa bulan saja jabatan itu melekat pada AHY, sebenarnya sangat jauh kemungkinan Partai Demokrat masuk dalam Kabinet Jokowi, karena bukanlah bagian dari partai kolaborasi.
Diterimanya jabatan tersebut, menjadi sebuah catatan, bahwa KEKUASAAN – walau hanya beberapa bulan saja – menjadi sangat penting dan dibutuhkan. Ya, politik itu memang injure time, yang dapat merubah sekaligus merusak sendi-sendi moral dan etika. Kemudian, dikunci dengan kalimat bahwa di politik, yang ada itu KEPENTINGAN, dan tidak mengenal MUSUH atau pun TEMAN ABADI.
Sikap kritis – tanpa dikuatkan moral dan etika – dan hanya berselimutkan KEPENTINGAN, akan cepat kandas dan terbaca lawan politik.
Hanya kurun waktu hampir 8 bulan usia terbitnya buku SBY dengan judul “Pilpres 2024 dan Cawe-cawe Presiden Jokowi,” sudah berbuah jabatan Menteri ART/BPN bagi anaknya, AHY. Artinya, buku dibarter jabatan Menteri ART/BPN. Nah, semua demi anak.
Itu fakta yang tidak terbantahkan. Andaikan SBY melarang atau mengingatkan AHY untuk menolak tawaran Jokowi, makna kehadiran buku “Pilpres 2024 dan Cawe-cawe Presiden Jokowi,” akan lain lagi penilaiannya dari masyarakat [literasi].
Melansir dari unggahan pegiat media sosial Jhon Sitorus di X, ia menyarankan agar buku bersampul warna merah tersebut segera ditarik dari peredaran. Buku tersebut disebutnya akan memberikan pengaruh buruk untuk mental AHY.
“Belum setahun buku ini terbit, sepertinya peredarannya harus segara ditarik secara masif. Berbahaya untuk kesehatan mental AHY nantinya. Lucu sekali tontonan politik ini,” tulis Jhon Sitorus dikutip Rabu (21/02/2024).
Politisi memang punya cara sendiri-sendiri, dalam menaikkan nilai tawarnya. Yang paham situasi, ada yang memilih diam, mencibir, meludah, dan merasa MUAKKKK. Politik baik adanya karena ada nilai-nilai moral, etika, dan seni. Yang merusak dan mengobrak-abrik nilai politik kebaikan, ya para politisi busuk, politisi jahat, politisi hitam, dan politisi korup.
Penulis, Ingot Simangunsong, pimpinan redaksi Segaris.co