Catatan | Ingot Simangunsong
Bunga Edelweis (Leontopodium alpinum) adalah bunga yang tumbuh di daerah pegunungan tinggi, khususnya di wilayah alpen di Eropa.
Namun, bunga ini juga ditemukan tumbuh di pegunungan tinggi di Asia, termasuk di Indonesia.
Ciri khas utama dari bunga Edelweis adalah kecantikan dan ketahanannya terhadap cuaca ekstrem di pegunungan.
Bunga ini memiliki warna putih bersih dan tumbuh di tanah yang berbatu atau berpasir. Daunnya berbulu-bulu halus untuk melindungi diri dari sinar matahari yang terik dan suhu dingin di pegunungan.
Bunga Edelweis memiliki makna yang mendalam dalam budaya populer.
Di beberapa negara, bunga ini dianggap sebagai simbol keabadian, keberanian, dan cinta yang tulus.
Keindahannya yang khas dan keberadaannya yang langka membuatnya sering menjadi objek legenda dan cerita rakyat di daerah pegunungan.
Di Indonesia, bunga Edelweis ditemukan tumbuh di beberapa pegunungan tinggi, seperti di Gunung Papandayan, Gunung Gede, dan Gunung Rinjani.
Kehadirannya menambah pesona alam pegunungan Indonesia yang mempesona.
Namun, popularitas bunga Edelweis juga membawa dampak negatif. Karena keindahannya, bunga ini sering dipetik oleh para pendaki gunung sebagai tanda prestasi atau kenang-kenangan.
Hal ini menyebabkan penurunan populasi bunga Edelweis di beberapa daerah.
Oleh karena itu, upaya konservasi dan perlindungan terhadap bunga Edelweis menjadi sangat penting untuk menjaga keberlangsungan dan keberadaannya di alam.
Dengan kecantikannya yang abadi dan simbolisme yang mendalam, bunga Edelweis tetap menjadi daya tarik yang menakjubkan bagi pengunjung pegunungan tinggi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Apa kaitannya dengan ke-demokrasi-an di negeri kita, INDONESIA. Tentu tidak ada sama sekali “benang merah” yang kental untuk mempertemukan bunga Edelweis dengan ke-demokrasi-an.
Yang terasa hanya kesamaan aroma, yakni penurunan populasi sehingga sangat dibutuhkan AKAL SEHAT untuk menjaga keberlangsungan dan keberadaan bunga Edelweis dan ke-demokrasi-an di alam raya, NUSANTARA.
[ Betapa… sempat terasa indahnya ritme ke-demokrasi-an yang dibayar mahal dalam gelegar REFORMASI 1998 dan meregangkan puluhan nyawa.
Pesta demokrasi — masih layakkah disebut — yang akan digelar 14 Februari 2024, menjadi tersandera keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meloloskan seorang calon wakil presiden di luar nalar dan akal sehat.
Ke-demokrasi-an yang lulu-lantak di ruang kekuasaan, yang tidak disangka-sangka bergerak ke arah berlawanan dan mengabaikan kebersamaan yang sudah terjalin demikian lamanya.
Tidak sedikit yang harus patah arang karena perubahan yang membuat rasa mual karena muak.
Apa yang pernah ditulis tentang ketulusan hati, ternyata hanya sekadar casing yang menutupi kondisi sebenarnya, busuk dan bernana.]
Bunga Edelweis [ walau sedang berjuang mempertahankan populasi ], diharapkan dapat menjadi lambang keabadian rasa cinta tulus bagi para pengabdi ke-demokrasi-an di alam raya, NUSANTARA.
Jika air mata almamater pun tidak digubris karena perubahan alur pikir tak adab, biarlah itu mati dalam senyapnya.
Bagi akal SEHAT, bunga Edelweis diposisikan pada tangan calon pemimpin yang setia berada di ruang ke-demokrasi-an.
Ke-demokrasi-an harus tegak lurus melawan pikiran-pikiran di luar nalar dan di luar akal sehat.
14 Februari 2024, ke-ABADI-an Edelweis untuk tegak lurusnya ke-DEMOKRASI-an. Cinta TULUS, Nusantara.
Kalaulah, tangisnya almamater tak dianggap, setidaknya jangan lukai IBU PERTIWI. Salam DEMOKRASI.
Penulis, Ingot Simangunsong, pimpinan redaksi Segaris.co