Catatan | Ingot Simangunsong
[ pesan moral memimpin rakyat ]
SANG Raja, sudah kehabisan akal sehat dan tidak lagi menaruh rasa percaya terhadap orang-orang di sekelilingnya, sehingga harus turun langsung untuk mengatur strategi, dalam memuluskan penyerahan tongkat estafet kekuasaan kepada orang yang benar-benar dapat dipercaya dan dapat memahami pikiran serta tujuan kekuasaannya [sang putra mahkota].
Sebagai penguasa, Sang Raja, memiliki kekuasaan penuh untuk mengetahui, mengatur serta menetapkan terhadap apa dan bagaimana lembaga pemerintahan di negerinya.
Sang Raja, sangat menyadari betul, untuk meloloskan rencana “liarnya”, dibutuhkan dukungan total dari beberapa ketua golongan agar pengajuan putra mahkota sebagai penerus estafet dapat berjalan mulus.
Sebelum melepaskan informasi tentang putra mahkota yang akan menjadi penerima tongkat estafet ke publik, Sang Raja pun menyusun strategi, bagaimana memasukkan para ketua golongan ke dalam sebuah perangkap.
Sang Raja pun memanfaatkan kekuatan dari satu lembaga yang menangani prilaku korup para ketua golongan.
Satu per satu para ketua golongan, datang menghadap Sang Raja dengan bentangan data kesalahan [korupsi] yang dapat menggiring mereka ke penjara.
Untuk menyelamatkan [marwah] diri, para ketua golongan manut-manut seperti kerbau dicucuk hidung, dan menyatakan dukungan penuh dalam memuluskan putra mahkota sebagai penerima tongkat estafet kekuasaan.
Para ketua golongan – walau dengan hati merontah – diharuskan pasang badan dalam menghadapi protes dari pihak mana pun. Para ketua golongan ditekan untuk melakukan apa pun agar putra mahkota mendapatkan tempat di hati semua golongan.
Sang Raja, tidak rela kekuasaan yang selama ini berada di tangannya, harus beralih ke tangan penguasa lainnya.
Kekuasaan politik harus diwariskan Sang Raja ke generasinya yang berikut, yakni sang putra mahkota.
Sang Raja yang merasa memiliki kekuasaan mutlak dan otoriter, mulai mengontrol pemerintahan dengan tangan besi dan sering kali mengabaikan hak-hak sipil dan politik warganya.
Sang Raja mulai menonjolkan bahwa pemerintahannya merupakan kumpulan sekelompok kecil orang atau kelompok yang memiliki kekayaan, kekuatan politik, atau pengaruh yang signifikan.
Dan sebagian dari sekelompok kecil orang yang terbentuk itu, adalah orang-orang yang terperangkap [tersandera] karena berbagai kasus.
Putra mahkota pun masuk dalam pusaran pencalonan dan menjadi kesepakatan harus dimenangkan dengan berbagai cara apa pun. Tidak perduli dengan apa yang disebut-sebut bahwa SUARA RAKYAT, adalah SUARA TUHAN.
Ketika Sang Raja tidak lagi peduli dengan kekuatan SUARA TUHAN, maka perjuangan apa pun yang dilakukan dengan cara tidak benar, akan membuahkan ke-TIDAKBENAR-an juga.
Sangat memprihatinkan, para ketua golongan yang manut-manut, ikut masuk dalam lingkaran kekuasaan yang “liar”.
Kekuasaan jangan dijeput dengan tanpa adab, moral, etika dan kebersahajaan.
Pesan moral yang ingin disampaikan; Sang Raja yang menghormati Tuhan-nya, akan memberikan keteduhan, keamanan, pemeliharaan dan perlindungan bagi rakyatnya.
Sang Raja yang adil dan benar, selalu membawa kesegaran dan air kehidupan yang takkan pernah kering untuk selama-lamanya.
Semoga Sang Raja dapat memahami langkah buah catur yang digerakkannya. Kemudian secepatnya PULANG, layaknya si anak yang HILANG. Semoga!!!
Penulis, Ingot Simangunsong, adalah pimpinan redaksi Segaris.co