Oleh | Sutrisno Pangaribuan
ALIH-alih mengembalikan KTA PDI-P, Bobby Afif Nasution (Banas), Wali Kota Medan, menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru menggelar deklarasi.
Relawan yang diberi nama Barisan Pengusaha Pejuang (Bapepe) mendeklarasikan dukungannya terhadap pasangan Prabowo Subianto- Gibran Rakabuming Raka (Prabu) di Pilpres 2024.
Banas yang didapuk menjadi ketua relawan tersebut, memimpin deklarasi, dan dihadiri Prabowo di Djakarta Theater, Jakarta, Rabu (08/11/2023).
Banas mengatakan, Bapepe bertekad mewujudkan Indonesia Emas 2045, bersama Prabowo yang peduli terhadap peran anak muda di Indonesia dan dibuktikan dengan memilih Gibran sebagai pasangan.
Sebelumnya, DPP PDI-P meminta Banas untuk segera mengembalikan KTA PDI-P paling lambat dalam dua tiga hari pasca pernyataan dukungan terbuka Banas kepada Prabu.
Caleg Golkar Dasa Sinaga serahkan bantuan ke GKPS Pardomuan Mardosniuhur
Banas menyatakan mendukung Prabu di acara peletakan batu pertama pembangunan patung Jokowi di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Sabtu (04/11/2023).
Banas menyebut dukungannya kepada Prabu sesuai permintaan relawannya yang telah menyatakan dukungan kepada Prabu.
Pada pemanggilan tersebut, Ketua Bidang Kehormatan DPP PDI-P, Komarudin Watubun menyatakan bahwa Banas tetap ingin bersama PDI-P (tidak mundur), meski mendukung Prabu.
Namun Komarudin menyatakan bahwa kader PDI-P tidak boleh bermain dua atau tiga kaki, semua harus taat pada keputusan partai.
Sebagai kader PDI-P yang patuh dan taat kepada AD/ART dan Peraturan Partai, kami sangat menyesalkan sikap ‘lunak’ PDI-P kepada anak dan menantu Jokowi.
DPP hanya berani memberi sanksi tegas kepada kader biasa, yang bukan darah biru (anak, menantu, dan cucu presiden).
Kalau kader yang punya kuasa, dan darah biru, sanksi diberi sesuai selera, dan keinginan penguasa.
Padahal tidak ada alasan menunda pemecatan Gibran dan Banas (sekali pun anak dan menantu presiden).
Sebab setiap kali PDI-P memperlakukan kader sebagai anak emas, maka saat yang sama PDI-P pasti memperlakukan kader lain sebagai anak tiri. Maka DPP PDI-P tidak perlu ragu untuk segera memecat para penghianat PDI-P.
Sejak PDI-P memberi karpet merah kepada Gibran dan Banas, maka sejak saat itu banyak kader yang menjadi korban.
Ada kader yang dipecat, ada juga kader yang mimpinya dibunuh demi putra mahkota dan menantu Jokowi.
Mereka yang dipecat dan dibunuh mimpinya oleh PDI-P adalah para kader yang telah puluhan tahun berjuang untuk membesarkan PDI-P.
Mereka adalah kader-kader yang berjuang dan bertahan saat PDI-P (PDI) masih kecil, dan dikucilkan di masa pemerintahan mantan mertua Prabowo.
Namun harus pasrah dipecat karena PDI-P memberi karpet merah pada anak-anak ingusan (istilah Panda Nababan) untuk menjadi wali kota.
Caleg Demokrat Elisabeth Simangunsong ziarah makam Radja Siantar di Nagahuta
PDI-P move on: Jokowi dan keluarganya masa lalu
Sebagai kader PDI-P, kami meminta DPP PDI-P segera menuntaskan masalah keanggotaan Gibran dan Banas dengan pemecatan seperti yang dilakukan kepada Budiman Sudjatmiko, Murad Ismail, Akhyar Nasution, Alm. Rudolf Pardede, Rustriningsih.
Jika DPP PDI-P berani memecat ketua-ketua PAC PDIP di Medan yang dituduh tidak mendukung Banas di Pilkada Kota Medan Tahun 2020, maka DPP PDI-P seharusnya lebih tegas, dan berani memecat Gibran dan Banas.
Sebab jika kader yang jelas-jelas telah berkhianat tidak segera dipecat, maka akan menjadi preseden buruk bagi kader-kader lain.
Kader-kader lain juga akan bermain dua dan tiga kaki, jika Gibran dan Banas tidak segera dipecat.
Selain pemecatan kepada Gibran dan Banas, DPP PDI-P juga diminta dengan tegas menyatakan berhenti mendukung Gibran dan Banas dalam jabatan wali kota Solo dan Medan yang masih tersisa.
Demikian juga dengan Pilkada Serentak 2024, DPP PDI-P diminta untuk tidak akan mengusung dan mendukung Gibran (jika kalah Pilpres) dan Banas.
DPP PDI-P harus menunjukkan konsistensi menegakkan atauran partai, sehingga PDI’P memiliki kewibawaan.
PDI-P tidak pernah meninggalkan anak dan menantu Jokowi, merekalah yang meninggalkan PDI-P. Jika anak dan menantu Jokowi tidak butuh PDI-P, maka tidak ada alasan PDI-P untuk membujuk dan mempertahankan, serta berharap mereka akan kembali.
Dari peristiwa ini DPP PDI-P hendaknya belajar bahwa dalam mengelola partai harus jujur, fair, dan terbuka, serta tidak diskriminatif. Perlakuan istimewa kepada kader tertentu atas latar belakang dan pertimbangan apapun (terutama kekuasaan dan uang) tidak dibenarkan, sebab hal tersebut adalah diskriminasi.
Kekuatan PDI-P ada pada kesetiaan dan kesungguhannya mengurus rakyat, bukan karena kedekatannya dengan kekuasaan.
Jika PDI-P ingin menang hattrick Pemilu 2024 (Pileg dan Pilpres), maka PDI-P harus move on, lupakan Jokowi dan keluarganya.
Jika dengan Jokowi, PDI’P pernah menang bersama, maka tanpa Jokowi juga PDI-P pasti bisa menang. PDI-P kembalilah menjadi partai wong cilik, yang sungguh-sungguh siap menangis dan tertawa bersama rakyat!
Penulis, Sutrisno Pangaribuan, kader PDI-P dan Presidium GaMa Centre