Oleh | Sutrisno Pangaribuan
SEJAK menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan niat menjadi walikota Medan tahun 2020, PDI-Perjuangan (PDI-P) memberi perlakuan istimewa kepada Bobby Nasution.
Ketika semua kader mengikuti tahapan dan mekanisme, mulai pendaftaran hingga fit & proper test, khusus Bobby Nasution, proses tersebut tidak berlaku.
Sama dengan perlakuan istimewa yang diberikan saat ini dimana Bobby Nasution sudah menyatakan dukungan terbuka kepada kakak iparnya Gibran yang berpasangan dengan Prabowo, namun PDI-P no comment, bungkam.
Pengurus PDI-P, DPP, DPD SUMUT, dan DPC Medan tidak berani menyampaikan sikap apa pun. Berbeda dengan keberanian pimpinan PDI-P saat dengan tegas menyampaikan pemecatan Alm. Rudolf Pardede (Ketua DPD PDI-P Sumut), Akhyar Nasution (Wakil Ketua DPD PDI-P Sumut), dan sejumlah kader, pimpinan dan anggota DPRD PDI-P Kabupaten Samosir. Para kader yang dianggap membelot memilih pasangan kepala daerah yang diusung partai lain tersebut dipecat dan diberi cap “penghianat partai.”
Memasuki hari kedua pasca Bobby Nasution menyatakan dukungan kepada pasangan selain kepada Ganjar-Mahfud, pengurus PDI-P Sumut memilih bungkam, no comment, tidak berani mengambil sikap, atau masih menunggu arahan DPP.
Sikap tersebut berbeda dengan sikap FX Rudy, Ketua DPC PDI-P Solo yang menyatakan agar putra sulung Jokowi, Gibran segera mengembalikan KTA PDI-P, baik diantar langsung mau pun dikirim pakai perantara.
Pengurus PDI-P Sumut dan Medan sama sekali tidak berani menindaklanjuti arahan Ketum PDI-P, Megawati Soekarnoputri yang menyampaikan pernyataan secara terbuka kepada seluruh kader PDI-P, dan disaksikan publik, bahwa kader yang bermain dua atau tiga kaki untuk keluar dari PDI-P.
“Kalau jadi pengurus partai tidak punya keberanian menegakkan aturan partai, dan arahan ketum partai, lebih baik mundur dari pengurus partai.”
“Sikap dan tindakan pengurus PDIP SUMUT dan Medan yang memilih bungkam, diam, tidak berani tersebut tidak mencerminkan sikap tegak lurus kepada konstitusi partai dan ketua umum.”
“Kalau kader orang biasa, para pengurus PDIP ini cepat mengambil tindakan, giliran menantu Jokowi, semua no comment.”
“Katanya banteng, kok cemen?” “Mundur saja jadi pengurus partai kalau kepada kader yang secara terbuka menyatakan dukungan kepada pasangan calon selain kepada Ganjar-Mahfud tidak berani!”
“PDIP itu telah mengalami berbagai tekanan sejak orde baru saat Indonesia dipimpin mantan mertua Prabowo. Mengapa saat ini malah takut mengambil sikap?”
“Satu-satunya kader PDIP, sebagai pengurus partai yang berani menyatakan sikap dari seluruh kader di Indonesia Raya, hanya FX Rudy.”
“Maka daripada hanya mampu menyatakan no comment, atau fokus konsolidasi partai, lebih baik mundur saja.”
“Orang yang takut menegakkan aturan partai, takut menyampaikan sikap berdasarkan aturan partai, tidak layak jadi pengurus PDI-P.”
Ketakutan para pengurus menyatakan sikap partai sebagai bukti bahwa selama ini pengurus partai hanya sibuk dengan kepentingan diri sendiri dan keluarga dalam partai.
Partai hanya digunakan tempat cari makan, dan akses terhadap kekuasaan. Sementara saat partai butuh sikap, aturan ditegakkan, semua diam, bungkam, menghindar, menyelamatkan diri sendiri.
Penulis, Sutrisno Pangaribuan, Kader PDI-Perjuangan, pernah Koordinator Pemenangan Daerah Sumatera Utara 7 (Tapsel, Madina, Palas, Paluta, Padangsidempuan) dan Penggerak Relawan di Tim Kampanye Daerah Jokowi-JK, 2014, pernah Juru Bicara Tim Kampanye Daerah Jokowi-Ma’ruf Amin, 2019, dan pernah disidang oleh Mahkamah Kehormatan DPP PDI-Perjuangan pasca aksi pengamanan palu sidang DPRD SUMUT.