“YA jelas harus ditemukan. Bisa ditemukan hidup, bisa ditemukan meninggal, harus jelas. Tentang nanti ada sebuah rekonsiliasi dari fakta-fakta ya tidak soal. Tapi harus jelas, masa sekian lama belum jelas yang 13 orang hilang itu,” kata Jokowi di Media Center Jalan Sukabumi, Menteng, Jakarta Pusat, Senin 9 Juni 2014 silam.
Pernyataan sang capres tersebut begitu memikat para eks PRD dan pegiat HAM, mantan aktivis dan aktivis pada waktu itu.
Jokowi saat itu dianggap membawa angin segar dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM, berbeda dengan era Pilpres sebelumnya, tak ada kandidat selugas dia ingin mencari dan menuntaskan korban penculikan.
Mereka menganggap Jokowi tidak sekedar janji, tapi menunjukan empati.
Kenangan itu diungkap kembali oleh Petrus Harinyanto, mantan Sekjen Partai Rakyat Demokratik (PRD) periode 1996-2001 dalam Siaran Persnya yang diterima di Medan, Senin (23/10/2023).
Petrus melanjutkan kenangan itu dengan menyebutkan, ketika ditanya oleh Lexy Rambadeta (creator video), bagaimana dia akan mencari sang penyair itu ketika nantinya menjadi presiden?
Jokowi saat tahun 2014 itu menjawab, ”Ya dicari biar jelas. Mbak Pon temen baik, anaknya temen baik saya.”
Itulah yang membuat Mbak Pon, istri Wiji Thukul, terkesan dengan sosok mantan tukang kayu yang pemberani dan dianggap mampu akan menemukan keberadaan suaminya.
DGP Jerman terus bergerak untuk memenangkan Ganjar Pranowo – Mahfud MD
“Makanya, saat itu para aktivis termasuk eks PRD seakan berlomba mendirikan relawan, semisal Projo, Seknas Jokowi, Bara JP. Relawan menjadi unsur penting bagi kemenangan Jokowi menduduki tahta sebagai Presiden. Lalu, kinerja Jokowi saat menjadi presiden dianggap bagus terutama janji fokus membangun infrastruktur, membuat para aktivis tersebut masih menyokong dia maju dan menghadapi Prabowo Subianto kembali dalam Pilpres 2019,” sebut Petrus.
Sayangnya, katanya, periode pemerintahannya berakhir, Jokowi belum menggenapi janjinya itu.
Kemudian, dalam periode kekuasaannya kedua, sampai Mbak Sipon istri Wiji Thukul meninggal awal tahun 2023 ini, mantan Ketua Jaker itu belum ditemukan, dan memang tidak ada proses pencarian yang dilakukan negara.
“Sebenarnya, kami sempat punya asa kembali ketika pemerintah mengumumkan negara mengakui terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan negara meminta maaf. Walau melalui jalur non-yudisial, tapi ada harapan diteruskan secara hukum,” tulis Petrus dalam Siaran Persnya.
Petrus mengaku kaget, sebab di tengah penantian dan pengharapan yang waktunya tinggal setahun ini untuk menanti janji Jokowi, seakan disambar petir dengan munculnya kasus keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) tentang uji materi batas umur capres dan cawapres.
Menurutnya, uji materi tersebut berbau manuver politik untuk meloloskan sang putra presiden menjadi Cawapres Prabowo Subianto, karena usianya belum memenuhi UU Pemilu.
Disebut Petrus bahwa keputusan itu penuh kolusi, intervensi, dan membuang akal sehat yang telah melukai hati nurani dan rasa keadilan masyarakat.
Jokowi, tambahnya, telah mengintervensi lembaga yudikatif tersebut, sehingga muncul penamaan MK menjadi kepanjangan “Mahkamah Keluarga”.
Publik marah dan geram, apalagi kepada sang anak yang dianggap mencla-mencle, menjadi “kutu loncat” dengan berpindah keanggotaan ke Partai Golkar. Gibran dianggap penghianat bagi PDI-Perjuangan.
Dan Minggu (22/10/2023) semalam, imbuhnya lagi, Prabowo Subianto menobatkan secara resmi Walikota Solo (pengalaman tertingginya duduk dalam pemerintahan) itu menjadi Cawapresnya.
“Bagi saya, bukan hanya menegakkan politik dinasti yang menjijikan itu saja, lebih dari itu. Jokowi sama saja telah menghentikan langkahnya sama sekali untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM, khususnya penghilangan paksa melalui jalur hukum. Menyerahkan putranya menjadi Cawapres dengan demikian ia telah menjadi presiden pencuci dosa sang penculik,” katanya.
Baginya, apa yang dilakukan Jokowi dengan manuver politik ini, telah didahului parade aktivis ’98 termasuk mantan Ketum PRD, Budiman Sujatmiko, masuk dalam barisan pendukung Capres pelanggar HAM itu. Sebuah episode sangat kelam bagi citra para aktivis.
“Saya selaku mantan aktivis yang melawan kediktaktoran Orba akan tetap melancarkan perlawanan kepada Capres pelanggar HAM yang berpasangan dengan putra Presiden Jokowi. Dengan demikian, saya juga akan melawan Presiden Jokowi dan keluarganya yang telah menerapkan politik dinasti, dan bersekutu dengan Capres penculik,” katanya. (Sipa Munthe/***)