KAMIS, 28 September 2023, batas waktu untuk pengosongan lahan di Pulau Rempang.
Namun, masyarakat tetap kukuh tidak akan meninggalkan Pulau Rempang dan tetap menolak untuk meninggalkan tempat tinggalnya.
Pemerintah memberi waktu hingga 28 September kepada masyarakat di 16 titik kampung tua yang ada di Pulau Rempang, Batam untuk mengosongkan lahan.
Pengosongan tersebut terkait dengan proyek strategis nasional berupa pembangunan kawasan Eco City.
PADI petani Desa Ramunia DIPANEN OTK dan TNI mengaku TIDAK MENGETAHUI
Ultimatum ke warga diberikan berdasarkan perjanjian antara Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) dengan pihak investor.
Pihak investor menginginkan agar di tanggal tersebut, lahan yang mereka perlukan sudah rampung.
Menanggapi ultimatum itu, juru bicara Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT) Pulau Rempang, Suardi, mengatakan akan mempertahankan marwah kampung-kampung mereka terlepas dari apa pun yang dilakukan pemerintah.
Sebab kampung-kampung itu didirikan oleh nenek moyang mereka sejak 1843.
“Kami tidak akan mau pindah meskipun kami terkubur di situ. Karena dengan cara apa pun, itu tanah ulayat yang menjadi tanggung jawab kami untuk menjaganya,” kata Suardi.
Suardi kemudian mempertanyakan klaim BP Batam yang menyebut bahwa sudah ada warga yang setuju dan menerima tawaran ganti rugi rumah.
“Apakah itu mereka dapat dari aparat yang menyisir dari rumah ke rumah melewati proses sosialisasi? Kalau dilakukan oleh oknum aparat, sehingga mendapat persetujuan, menurut saya masyarakat hanya ketakutan,” kata dia.
Menurut Suardi, masyarakat dari 16 kampung tua justru menitipkan perjuangan kepada dirinya untuk mempertahankan lahan agar mereka tidak direlokasi.
Suardi memastikan sikap masyarakat tidak akan berubah walaupun kemungkinan buruk terjadi.
“Jika memang kami ditakdirkan mati di tangan pemerintah, kami sudah ikhlas, karena itu akan jadi catatan sejarah buat kami bangsa Melayu yang berada di Pulau Rempang,” katanya.
Eskalasi situasi selama sepekan terakhir, menurut Suardi, membuat masyarakat ketakutan bahkan trauma pasca-penembakan gas air mata yang terjadi hingga di sekolah-sekolah pada 7 September.
Juara 2 Tingkat Nasional, Desa Hariara Pohan sumbang PAD jutaan rupiah setiap bulan
Sehari pasca-bentrokan, Dinas Pendidikan Kota Batam menerbitkan surat untuk menghentikan sementara proses pembelajaran di sekolah.
Tak hanya itu, Suardi mengatakan banyak anak-anak takut pergi sekolah atau dilarang orang tuanya pergi ke sekolah karena khawatir dengan keamanan mereka.
“Saya punya cucu kelas 1 SD, disuruh mamanya sekolah tidak mau lagi, dia takut ditembak. Alasannya, dia masih mau hidup. Ini yang saya rasakan.. miris, sedih, melihat kejadian itu,” kata Suardi.
Selain itu, polisi juga mendirikan posko-posko di wilayah Pulau Rempang. (***)