ORGANISASI kemahasiswaan yang terdiri dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), serta Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng) dan Kota Sibolga, menyesalkan aksi unjuk rasa yang dilakukan sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan elemen pemuda dan mahasiswa di Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Gedung DPRD Tapteng, di Pandan, Selasa (22/08/2023), karena dinilai berbau suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Menurut organisasi ‘Kelompok Cipayung’ tersebit, aspirasi adalah masukan yang disampaikan dalam beragam bentuk dan salah satunya dengan melakukan unjuk rasa. Unjuk rasa merupakan jalan terakhir dalam menyampaikan aspirasi, baik kritikan mau pun saran dan pendapat.
Penyampaian aspirasi dalam bentuk unjuk rasa telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998. Tetapi jika dalam penyampaian aspirasi dimanfaatkan untuk melampiaskan kekecewaan dengan membawa issu SARA, sangatlah tidak baik dan dapat menimbulkan persoalan baru.
Hal itu disampaikan Ketua HMI Cabang Tapteng – Sibolga, Anggiat Marito, dalam rilis kepada media yang diterima di Medan, Jumat (25/08/2023).
“Kami menyesalkan aksi unjuk rasa tersebut yang mengatasnamakan elemen pemuda, Ormas dan mahasiswa di Tapteng yang mereka lakukan di Kantor Bawaslu dan DPRD Tapteng dimana dalam materi aksinya mengatakan adanya kepentingan agama yang sepihak,” sebut Anggiat.
Anggiat bersama pengurus kelompok Cipayung lainnya yaitu Ketua Bidang Organisasi dan Komunikasi GMKI Cabang Sibolga, Sekira Zendrato, menyebutkan, seharusnya pemuda dan mahasiswa sebagai contoh dalam mengedepankan nilai-nilai Pancasila dan kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat.
Pengedar asal ACEH bersama 1.075 gram GANJA, diamankan Polres Tanah Karo
Tidak seperti pernyataan mereka dalam aksi damai di depan gedung DPRD Tapteng yang sudah menyimpang dari nilai-nilai Pancasila dan kebhinekaan dengan menyebutkan, bahwa Bawaslu RI dan Bawaslu Sumatera Utara bersifat sangat rasis dan sangat tendensius.
“Hal itu mencerminkan seakan Bawaslu RI hanya mengakomodir komisioner dari satu agama dengan mengenyampingkan nilai-nilai kebinekaan dan kemajemukan yang hidup di Kabupaten Tapanuli Tengah. Pernyataan ini sudah bersifat rasis yang dapat menyebabkan perpecahan diantara masyarakat,” sebut Anggiat lagi.
Sedangkan Sekira Zendrato berpikiran bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan dan anugerah dari Tuhan yang seharusnya disyukuri dan dinikmati secara baik. Bukan untuk diperdebatkan atau dipertentangkan.
Menurutnya, cara menikmati kebhinekaan atau perbedaan adalah mampu membangun dan menjaga persatuan, rasa persaudaraan, rasa kekeluargaan, dan rasa kasih sayang antar sesama.
“Maka ini harus dipahami serius oleh kita semua, bahwa sebagai generasi bangsa hari ini, kita wajib untuk dapat menjaga dan mewariskan Pancasila sebagai landasan kehidupan untuk dilanjutkan dan diimplementasikan oleh penerus bangsa di masa yang akan datang,” kata Zendarato.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua GMNI Cabang Sibolga, Pandin Santoso, yang menyebutkan, bahwa kepentingan politik SARA cukup mengkhawatirkan serta menimbulkan keretakan terhadap akar persatuan dan keutuhan bangsa.
GMNI, sambungnya, mengajak kepada segenap elemen dari tingkatan organisasi pelajar, organisasi kemasyarakatan (Ormas), dan organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) untuk menyuarakan tolak politik SARA, demi menjaga Bhinneka Tunggal Ika dan Sila Ke-3 Pancasila, yakni Persatuan Indonesia.
“Marilah kita bersama-sama menjaga keamanan dan ketertiban di Kota Sibolga maupun Kabupaten Tapanuli Tengah yang kita cintai,” ajak Pandin.
Untuk itu, mereka mewakili organisasi kelompok Cipayung meminta kepada Polres Tapteng dan Sibolga agar jeli dan cermat dalam mensiasati setiap adanya laporan kegiatan unjuk rasa.
Mereka meminta kepolisian seharusnya mengkaji serta mencermati setiap pelaporan atau pemberitahuan rencana aksi unjuk rasa. Apakah aksi itu bermuatan SARA, terlebih saat ini Indonesia memasuki tahun politik. (Sipa Munthe/***)