SABTU malam, 5 Agustus 2023, segaris.co kembali bertemu dengan ELFRIDA DOROWATI boru HUTAPEA – isteri mantan Wali Kota Pematang Siantar, RE Siahaan periode 2005-2010 – di Jalan Rakutta Sembiring, Kecamatan Siantar Martoba, Kota Pematang Siantar, Provinsi Sumatera Utara.
“Malam ini juga, kami akan kembali ke Medan,” kata ELFRIDA DOROWATI boru HUTAPEA yang menyampaikan kembali pendapat dan pandangannya terkait SITA LELANG rumah dan tanah di Jalan Sutomo No 10, Kelurahan Proklamasi, Kecamatan Siantar Barat, Kota Pematang Siantar.
Pada pertemuan sebelumnya, Elfrida Hutapea boru Hutapea sudah menyampaikan, bahwa adanya kejanggalan dalam surat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor B-23/26/02/2016 tertanggal 16 Pebruari 2016, perihal Pemberitahuan pelaksanaan pelelangan dan pengosongan barang sitaan.
Menurut Elfrida Hutapea, kedudukan rumah dan tanah Jalan Sutomo No 10 seluas 702 M2 tersebut, tidak dapat disebut sebagai barang sitaan, karena tidak ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang telah dipidanakan terhadap suaminya.
Lantik 54 pejabat, Wali Kota: “Lakukan optimalisasi bersama-sama membangun Pematang Siantar”
“Saya sudah sebutkan, bahwa rumah dan lahan seluas 702 meter persegi itu, merupakan HARTA WARISAN dari orangtua, yang saya terima tahun 1993, jauh sekali interval waktunya sebelum suami saya menjadi Wali Kota Pematang Siantar periode 2005-2010,” kata Elfrida boru Hutapea.
Kemudian dijelaskan Elfrida boru Hutapea, bahwa dalam proses penanganan kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan suaminya, status rumah dan lahan di Jalan Sutomo No 10 adalah DIBLOKIR, bukan sebagai barang bukti sitaan.
Elfrida boru Hutapea pun menunjukkan surat Direktur Penyidikan Nomor: R-69/23/08/2011 tanggal 23 Agustus 2011 perihal Permintaan Pemblokiran Aset Tanah sesuai SHM yang ditujukan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kota Pematang Siantar.
“Kemudian, sebelumnya pada 11 Juni 2015, suami saya dalam berita acara penolakan tanda tangan dalam penyitaan, dengan jelas menyatakan bahwa tanah itu diperolehnya dari mertua/orangtua dari istrinya sekitar tahun 1993,” kata Elfrida Hutapea sembari menunjukkan berita acara bernomor: BA-01/26.Ek80/06/2015 yang juga diketahui Kepala Lapas/Rutan Klas I Tanjung Gusta Medan, Jumadi Bc.IP.SH.MH.
Amar putusan “ajaib”
Kemudian, Elfrida boru Hutapea menyampaikan, bahwa ada hal yang terasa “ajaib” dalam perubahan amar putusan yang berbeda antara berita acara PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN tertanggal 27 Maret 2013, dengan yang tertera pada surat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nomor B-23/26/02/2016 tertang 16 Pebruari 2016, perihal Pemberitahuan pelaksanaan pelelangan dan pengosongan barang sitaan.
“Mari sama-sama kita perhatikan terkait kedua surat tersebut,” kata Elfrida Hutapea sembari meletakkan kedua surat itu di meja.
Di dalam berita acara PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN yang ditandatangani Jaksa Penuntu Umum, Fitroh Rohcahyanto SH, MH, Kepala Rutan Kelas I Tanjung Gusta Medan, Tonny Nainggolan dan terpidan RE Siahaan, disebutkan “Membayar uang pengganti sebesar Rp7.710.631.000 (tujuh milyar tujuh ratus sepuluh juta enam ratus tiga puluh satu ribu rupiah) dengan ketentuan apabila dalam waktu satu bulan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dibayar maka diganti dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun.”
Sementara di surat perihal Pemberitahuan pelaksanaan pelelangan dan pengosongan barang sitaan dalam poin 1 ditulis demikian, Dalam amar putusan a quo, antara lain menyatakan: “Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp7.710.631.000 (tujuh milyar tujuh ratus sepuluh juta enam ratus tiga puluh satu ribu rupiah) dengan ketentuan jika TERPIDANA tidak membayar uang pengganti paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti dan dengan ketentuan dalam hal terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun.”
“Perbedaan redaksinya itulah, yang saya sebut sebagai sesuatu yang ajaib. Bagaimana di dua surat, justru muncul perbedaan amar putusan yang berbeda,” kata Elfrida boru Hutapea.
Kemudian, dengan tegas disampaikan, bahwa suaminya sudah menjalani ketentuan hukum sesuai berita acara PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN, di tahun 2013.
“Hukuman itu sudah dijalani suami saya, yang 4 tahun sesuai berita acara PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN. Lalu, kenapa tahun 2016 muncul Pemberitahuan pelaksanaan pelelangan dan pengosongan barang sitaan. Ajaib bukan, apalagi yang mereka eksekusi bukan hasil tindak pidana korupsi,” kata Elfrida boru Hutapea.
Surat Perintah Penyitaan SAKTI dan UANG PENGGANTI APA???
Kemudian Elfrida boru Hutapea menunjukkan Surat Perintah Penyitaan (SPP) dalam Rangka Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Nomor: Sprin.PPP-01/01-26/Ek.S/05/2015, pada bagian PERTIMBANGAN 1, yang bunyinya: Bahwa terpidana Robert Edison Siahaan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1602 K/PID.SUS/2012 tanggal 25 Oktober 202 jo Putusan Pengadilan Yinggi Tindak Pidana Korupsi Medan Nomor:37/Pid.Sus.K/2021/PT-MDN tanggal 25 Mei 2021 jo Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan Nomor:37/Pid.Sus.K/201/PN Medan tanggal 6 Maret 2012 dibebankan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp7.710.631.000.00 (tujuh milyar tujuh ratus sepuluh juta enam ratus tigapuluh satu ribu rupiah), dengan ketentuan jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti dan dengan ketentuan dalam hal terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahun.
“Saya sebut surat ini sebagai surat SAKTI yang dipergunakan untuk menyita rumah dan lahan yang merupakan harta warisan yang tidak ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan suami saya,” kata Elfrida boru Hutapea yang mempertanyakan poin pertimbangan pertama tersebut.
Kemudian, Elfrida Hutapea menyebutkan, SITA LELANG rumah dan lahan Jalan Sutomo No 10, disebut dalam rangka PEMBAYARAN UANG PENGGANTI, tidak dapat diterimanya.
“Untuk uang pengganti apa???? Itu yang menjadi pertanyaan bagi saya,” kata Elfrida Hutapea sembari menyebutkan dalam Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Pasal 18 ayat (1) b, disebutkan pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
“Pasal 18 ayat (1) b itu sangat jelas. Artinya, rumah dan lahan Jalan Sutomo 10, tidak termasuk dalam harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Saya menerima HARTA WARISAN tersebut dari orangtua saya tahun 1993. Bayangkan, 6 tahun sebelum lahir Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata Elfrida Hutapea. (Ingot Simangunsong/***)