Oleh | INGOT SIMANGUNSONG
“DENGAN pemilu secara proporsional terbuka, kelembagaan partai politik teramputasi karena meski ia peserta pemilu legislatif tetapi yang muncul dominan adalah figur orang per orang. Akibatnya, partai politik tidak lagi dipandu oleh visi idealisme, kebangsaan, idiologi, kaderisasi, dedikasi dan kompetensi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat tetapi sudah tergantikan dengan demokrasi elektoral, pragmatis, short cut dan ketika terpilih akan menggunakan kekuasaannya untuk mengembalikan modal.”
Hal tersebut disampaikan Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Hafid Abbas, pada sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Rabu (12/04/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Itu kata Hafid Abbas, namun Sistem Proporsional Terbuka sudah berlangsung EMPAT KALI sejak era reformasi. Kenapa harus dirubah jadi Sistem Proporsional Tertutup?
Kelembagaan partai politik teramputasi?
Benarkah kelembaggaan partai politik teramputasi. Sejatinya tidaklah seperti itu, karena lembaga adalah wadah, yang tidak memiliki agresifitas terhadap situasi apa pun.
Kelembagaan partai politik adalah wadah (tempat) bernaung atau berkumpulnya pribadi-pribadi politisi (alat) yang memiliki agresifitas tinggi dalam menentukan kemana arah kelembagaan partai politik.
Jadi, jika diputar-putar balikkan pun penggunaan Sistem Proporsional Terbuka dan Sistem Proporsional Tertutup, dalam pelaksanaan pemilihan legislatif, tidaklah pas jika apa yang dikatakan Hafid Abbas, dengan alasan teramputasinya peranan kelembagaan partai politik.
Ketua umum partai politik, adalah pengguna utama lembaga partai politik, yang diberikan mandat dan amanat oleh seluruh kader partai untuk memimpin sekaligus menentukan arah lembaga partai politik.
Jadi, jika kita merunut hubungan biologis antara kelembagaan partai politik dengan ketua umum partai politik, maka yang tepat dalam konteks teramputasi yang disebut Hafid Abbas, adalah ketua umum partainya. Itu pun rasanya, kurang tepat.
Ketua umum partai politik adalah BIG BOSS…
PARTAI politik tidak lagi dipandu oleh visi idealisme, kebangsaan, idiologi, kaderisasi, dedikasi dan kompetensi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat.
Hal tersebut, menurut Hafid Abbas, merupakan dampak dari Sistem Proporsional Terbuka, yang merugikan kelembagaan partai politik.
Hafid Abbas, apakah lupa bahwa ketua umum kelembagaan partai politik, adalah Big Boss (bos besar), yang memiliki kekuasaan penuh dalam menentukan apa dan siapa yang berhak menempatkan posisi apa pun. Setidaknya, harus sepengetahuan dan seijin ketua umum partai politik.
Baik itu, dalam menentukan dan menetapkan nomor urut kader mau pun non kader untuk sebagai calon tetap di pemilihan legislatif.
Begitu juga, ketika sudah terpilih dan duduk di legislatif, ketua umum partai politik juga, yang memegang palu untuk penggantian antar waktu (PAW) kader mau pun non kader, karena sudah tidak patuh menjalankan “pesan politiknya partai” di legislatif.
Jadi, apa yang dianalogikan Hafid Abbas, tentang teramputasinya, apakah itu kelembagaan dan ketua umum partai politik (sekali pun), sangat jauh panggang dari api.
Ketua umum partai politik adalah BIG BOSS, siapa yang berani mengamputasi kekuasaan tertingginya.
Sistem tidak perlu berubah, prilaku yang perlu diperbaiki
Di pernyataan lainnya, Hafid Abbas menyampaikan, “ketika terpilih (kader atau non kader partai politik, red) akan menggunakan kekuasaannya untuk mengembalikan modal.”
Nahhhh!!! Hal mengembalikan modal, tidaklah menjadi urusan kelembagaan partai politik, tetapi menjadi pekerjaan rumahnya ketua umum partai politik, yang harus mengambil langkah perbaikan demi perbaikan proses kaderisasi, dan mencari formula untuk tidak memberatkan (membebani) biaya politik (cost politic) kader atau non kader.
Jadi, sistem tidak perlu dirubah, yang perlu dilakukan adalah bagaimana memperbaiki mental atau menguatkan moral para kader partai politik, agar tidak menggunakan kekuasaannya untuk mengembalikan modal.
Bak kata pepatah orangtua, “awak yang tak pandai menari, yang disalahkan lantai.”
Kemudian, Sistem Proporsional Terbuka sudah berlangsung EMPAT KALI sejak era reformasi. Masihkah harus dipersalahkan sistem (lantai tempat menari)?
Kenapa kelembagaan partai politik, tidak satu pun yang mengeluarkan hasil penilaian terhadap kader atau non kadernya, yang duduk di legilastif, lebih mengutamakan upaya mengembalikan modal.
Kelembagaan partai politik pun – melalui ketua umumnya – harus berani terbuka untuk menyampaikan nilai plus minus kadernya selama kurun empat kali berlangsungnya Sistem Proporsional Terbuka.
Sistem adalah alat (media), ketika sistem tidak berjalan seperti yang diharapkan, yang perlu diperbaiki adalah manusianya.
Mau TERBUKA atau TERTUTUP, jika moral politiknya tidak baik-baik saja, maka kader partai politik (pemimpinnya), yang seharusnya dikoreksi.
TERBUKA atau TERTUTUP, itukan soal political will para ketua umum partai politik. Mari, untuk “tidak menyalahkan lantai, ketika kita yang sebenarnya tak punya kemampuan menari.”
Penulis, Ingot Simangunsong, pimpinan redaksi mediaonline segaris.co.