Catatan | Ingot Simangunsong
MEMASUKI tahapan pesta demokrasi, panggung politik “diledakkan” dengan terbongkarnya tindak pidana korupsi anggaran Rp8 triliun lebih, yang tersangkanya Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) yang juga Sekjen Partai NasDem, JGP.
Kemudian, setelah hiruk pikuk tuding menuding adanya kerja-kerja politik dan kriminalisasi, mengalir cerita siapa-siapa dan dari partai politik apa, yang menerima aliran dana hasil korupsi Rp8 triliun lebih itu.
Soal tindak pidana itu, ya sudahlah, kita serahkan saja kepada pihak penegak hukum. Dengan tetap menggantungkan pengharapan, meletakkan hukum sejatinya panglima keadilan.
Hukum tidak boleh lentur terhadap politisi rampok yang tidak punya hati karena lebih mementingkan kepentingan kelompok, partai dan pribadinya.
Jika benar telah merugikan negara, patutlah ditetapkan tindak pemiskinan dengan menyita harta kekayaan para pelaku dan penikmat korupsi Rp8 triliun lebih tersebut.
*****
TERKAIT pesta demokrasi – yang dimulai dengan pemilihan calon anggota DPR RI, provinsi, kabupaten/kota dan DPD – disengaja atau tidak, para politisi busuk yang korup itu, telah menimbulkan “kegamangan” bagi para pemilih dalam memberikan hak suaranya.
Jumlah anggaran yang dikorup JGP bersama kelompok rampok yang diorganisirnya itu, menjadi ibarat pepatah yang menyebutkan “gara-gara setitik nila, rusak susu sebelangah.”
JGP bersama politisi lainnya – ntah siapa pun itu – telah menorehkan rasa ragu dan berangsur kehilangan kepercayaan di kalangan konstituen atau pemilih (lebih khususnya kalangan milenial).
Paling yang masih berupaya bertahan dengan tidak peduli masalah kekorupsian, ya mereka yang sudah terperangkap pada konsep menunggu datangnya “serangan fajar” atau “wani piro.”
*****
KAUM Golongan Putih (Golput), yang menentukan sikap tidak menggunakan hak suaranya, diharapkan tidak naik dibandingkan pesta demokrasi Pilpres dan Pileg 2019.
Berdasarkan data lembaga survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, persentase golput atau tidak memilih dalam pemilihan presiden pada 2019 menurun yakni 19,24 persen dari total PDT yakni 192,83 juta jiwa dibandingkan tahun 2014.
Sementara, golput pada pileg 2019 justru lebih besar dibandingkan pilpres yakni 29,68 persen. Jumlah tersebut, naik dibandingkan tahun 2014.
Kemudian, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 34,75 juta orang yang tidak menggunakan hak pilihnya atau golongan putih (golput) dalam Pemilu 2019.
Jumlah itu setara dengan 18,02% dari seluruh daftar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2019 yang sebanyak 192,77 juta orang.
Jumlah pemilih golput pada Pemilu 2019 menurun 40,69% dibandingkan periode sebelumnya. Pada Pemilu 2014, jumlah pemilih golput mencapai 58,61 juta orang atau 30,22%.
Dengan munculnya kasus korupsi Rp8 triliun lebih, diharapkan tingkat pesimistis pemilih terhadap keberadaan partai politik dan para politisi yang hendak menduduki kursi DPR RI, provinsi, kabupaten/kota dan DPD RI, tidak semakin menguat.
Jika kasus korupsi tersebut dijadikan para pemilik hak suara, sebagai acuan semakin buruknya para politisi dan partai politik, tentu akan mempengaruhi naiknya tingkat pertumbuhan para loyalis Golput.
Tentu, hal tersebut tidaklah diinginkan, karena kerja-kerja yang selama ini dilakukan untuk membangunkan para loyalis Golput untuk bangun dari tidur panjang mereka dan bergerak menuju Tempat Pemungutan Suara (TPS), menjadi sia-sia.
*****
KERJA-kerja “biadab” dan “tak beradab” yang dilakukan JGP di kubangan korupsi Rp8 triliun lebih itu, telah menyita (mengkrangkeng) kerja keras menyadarkan para loyalis Golput.
Setiap garis gerak yang berpartisipasi membangunkan loyalis Golput, harus kembali kerja ekstra, agar para loyalis Golput tidak kembali ke atas kasurnya dan tidur pulas yang panjang.
Kemudian, patut jugalah, menyampaikan pesan kepada para pemilik suara, agar lebih fokus pada mengawasi rekam jejak para calon anggota DPR-RI, provinsi, kabupaten/kota dan DPD-RI.
Walau bukanlah menjadi satu jaminan, tetapi rekam jejak, adalah pintu masuk untuk lebih waspada, sebelum menentukan sikap datang ke TPS dan menetapkan pilihan pada figur yang mendekati TEPAT dan LAYAK dipilih.
Kalau pun endingnya, harus bermasalah dan berprilaku seperti JGP, itu sudah menjadi ranah si politisi busuk dan partai politik, yang moralitasnya memang sangat-sangat dan sangat TERGANGGU.
Artinya, terkait MORAL, tidaklah menjadi ranah rakyat sebagai pemilih, tetapi bagaimana partai politik menjaga MORAL kadernya. Setidaknya, partai politik, tidaklah menjadi SARANG PENYAMUN.
Penulis, Ingot Simangunsong, pimpinan redaksi medionline Segaris.co, motivator Gerakan Daulat Desa (GDD) Provinsi Sumatra Utara.