Oleh | Sutrisno Pangaribuan
BEBERAPA waktu lalu, Muhaimin Iskandar, Wakil Ketua DPR RI/Ketum DPP PKB mengusulkan Pilgub ditiadakan, dan jabatan gubernur dihapus.
Pernyataan Cak Imin disambut Bambang Soesatyo, Wakil Ketum DPP Partai Golkar/Ketua MPR RI yang menyatakan dukungan terhadap ide pengahapusan Pilgub, dan Gubernur sebaiknya ditunjuk Presiden.
Pernyataan kedua pimpinan Parpol sekaligus pimpinan lembaga tinggi negara tersebut sejatinya menjadi bahan diskursus.
Namun ternyata tidak mendapat respon karena dianggap sebagai ekspresi kegalauan pimpinan Parpol dalam menghadapi dinamika Pilpres 2024.
Rendahnya elektabilitas pimpinan Parpol dalam berbagai survey kandidat Capres sejak Pilpres 2014, dibanding Gubernur membuat pimpinan Parpol mengusulkan penghapusan Pilgub dan jabatan Gubernur.
Joko Widodo menjadi pelopor dari strategisnya jabatan gubernur. Jokowi dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta (15/10/2012), dan kemudian dilantik sebagai Presiden RI (20/10/2014).
Proyek Kementerian PUPR di Kabupaten Samosir, DIKERJAKAN ASAL JADI
Jokowi hanya butuh waktu kurang dari 2 tahun, dari Gubernur menjadi Presiden. Demikian juga saat ini, kandidat Capres dan Cawapres yang merajai hasil survey adalah para kepala daerah (gubernur dan wakil gubernur).
Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Anies Rasyid Baswedan (Gubernur DKI Jakarta), Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), Khofifah Indar Parawansah (Gubernur Jawa Timur), Sandiaga Salahudin Uno (Wakil Gubernur DKI Jakarta). Prabowo Subianto menjadi satu-satunya kandidat yang ada dalam 3 besar Capres 2024 yang bukan Gubernur. Perolehan Prabowo Subianto tersebut sebagai bonus dari kesetiaannya sebagai Cawapres maupun Capres, bukan karena ketum Parpol.
Sadar atas realitas bahwa Pilpres 2024 adalah panggung kepala daerah, maka pimpinan Parpol mengusulkan penghapusan Pilgub dan jabatan Gubernur.
Gagasan ini sebagai jalan pintas agar panggung politik nasional kembali ke pangkuan pimpinan Parpol.
Namun ternyata ide dan gagasan menghapus Pilgub dan jabatan Gubernur tidak direspon dengan baik oleh tokoh politik apalagi rakyat.
Pimpinan Parpol sebaiknya merendahkan hati
Dalam menghadapi dinamika politik saat ini, para pimpinan Parpol sebaiknya memahami kehendak sejarah. Rakyat Indonesia menunjukkan kesadaran dalam mencari kebenaran objektif melalui metode dialektika.
Maka pimpinan Parpol seharusnya mengikuti kehendak rakyat yang menginginkan Pilkada secara langsung, bukan meniadakan Pilgub.
Bus sekolah masuk jurang di Samosir, 5 luka berat dan 13 luka ringan
Pimpinan Parpol seperti Muhaimin Iskandar, lebih baik mempersiapkan diri maju di Pilgub Jawa Timur. Agus Harimurti Yudhoyono maju di Pilgub DKI Jakarta. Bambang Soesatyo maju di Pilgub Jawa Tengah. Airlangga Hartarto maju di Pilgub Jawa Barat. Zulkifli Hasan maju di Pilgub Lampung. Yusril Izha Mahendra maju di Pilgub Bangka Belitung. Fahri Hamzah maju di Pilgub Nusa Tenggara Barat.
Realitas saat ini memberi pesan bahwa untuk tampil di gelanggang politik nasional sebagai Capres atau Cawapres tidak cukup hanya menjadi pimpinan Parpol, pimpinan lembaga tinggi negara, atau menteri. Maka manuver pimpinan Parpol untuk menjadi kandidat Capres dan Cawapres lebih baik diakhiri.
Sebab nama-nama kandidat Cawapres yang kuat ternyata bukan pimpinan Parpol. Munculnya nama KH Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal sebagai Bacawapres Ganjar Pranowo sebagai bukti bahwa kandidat dari pimpinan Parpol tidak memiliki nilai jual yang tinggi.
Penulis, Sutrisno Pangaribuan, Presidium Kongres Rakyat Nasional (Kornas)