Oleh | Dedy Wibowo Damanik
HAK ANGKET melahirkan “pemakzulan” adalah bentuk kedunguan DPRD Siantar itu sendiri.
Bagaimana tidak? DPRD sebagai lembaga terhormat yang mempunyai hak dan fungsi pengawasan serta memberikan pendapat harus mengunakan senjata terakhirnya hanya untuk mendzolimi seorang perempuan yang nota bene sudah mulai berbuat untuk Kota Pematang Siantar.
Dan, sepertinya ada kepanikan di DPRD Kota Pematang Siantar mengingat Pemilu 2024 sudah di depan mata, membutuhkan biaya yang sangat besar.
Sehingga kasus “tempe” pun dibesar-besarkan hanya untuk bargaining, seolah-olah ada bencana besar yang sangat ditakutkan sehinga harus memaksa birahi menurunkan Wali Kota Pematang Siantar hanya karena takut rakyat makin mencintai wanita pertama yang menjadi Wali Kota itu.
Ini namanya lawak-lawak
Terkait pengangkatan 88 Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dipersoalkan katanya beberapa ASN yang dinonjobkan membuat pengaduan ke DPRD, sehingga inilah alasan lembaga terhormat itu membentuk Hak Angket.
Jika DPRD bijak, seharusnya tidak perlu membentuk Pansus Hak Angket yang melahirkan pemakzulan. Cukup hanya memberikan masukan kepada Wali Kota mau pun ASN yang membuat pengaduan.
Bahaya kalau ada pejabat ASN yang di-nonjob-kan terus mengadu dan DPRD-nya langsung membentuk Pansus.
Ini namanya lawak-lawak alias lucu-lucuan. ASN itu sudah punya tempat yang difasilitasi negara apabila ASN merasa dirugikan oleh kebijakan atasannya yaitu di Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Inilah tempat ASN jika merasa ada sesuatu yang kurang tepat.
Bukan malah membuat pengaduan ke DPRD dan yang lebih konyol lagi, DPRD-nya malah menyikapi secara berlebihan dengan membentuk Pansus Hak Angket.
Yang seyogiayanya, bila Bapak/Ibu Dewan yang terhormat itu bijaksana, bisa mengarahkan ASN tersebut ke KASN dan kalau pun harus memaksa birahi, masih ada ranah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Apalagi kasus pelantikan 88 ASN itu adalah ranah hukum bukan ranah politik. Edukasilah masyarakat dengan edukasi politik mendewasakan agar tidak ada lagi yang apatis terhadap kota yang kita cintai ini.
Birahi politik kekanak-kanakan
Untuk itulah dibutuhkan isi di dalam lembaga DPRD oleh orang-orang yang mempunyai SDM, cerdas, dan orang yang selesai dengan hidupnya. Bukan DPRD kaleng-kaleng yang kebijakannya merugikan rakyatnya sendiri.
Coba kita renungkan, berapa anggaran habis untuk mempersiapkan dan melaksanakan Pilkada Siantar?
Kemudian, setelah terpilih dan baru menjabat satu tahun sudah dimakzulkan.
Inikan sudah nggak benar. Apalagi Wali Kota sekarang adalah calon yang diusulkan partai-partai yang anggotanya ada di DPRD itu sendiri.
Artinya, mereka sudah melakukan penjaringan mau pun seleksi sehinga melahirkan calon tunggal yang dimana rakyat tidak diberikan kesempatan membuat pilihan lain.
Karena calon hanya satu, itu namanya rakyat dipaksa dengan persekongkolan arogansi partai-partai. Dan, setelah rakyat memilih dengan tidak punya pilihan lain, sekarang malah pilihan itu harus diturunkan oleh orang-orang yang dulunya memaksa rakyat memilih satu pilihan.
Sungguh ini birahi politik kekanak-kanakan. Tahukah apa dampak buruknya pada masyarakat? Kalau sudah seperti ini, rakyat mau bilang apa lagi?
Dan lebih parahnya lagi, konon katanya DPRD Siantar menemukan dugaan indikasi pemalsuan dokumen negara.
Kalau memang ada temuan pemalsuan apalagi dokumen negara yang dipalsukan, kenapa tidak DPRD yang menemukan itu membuat pengaduan kepada pihak penegak hukum, kok malah melemparkan kasus ini ke publik yang memicu kegaduhan di tengah-tengah masyarakat.
Inikan menunjukan seolah-olah apa yang dikerjakan itu sudah benar adanya.
Bahkan, terkait kasus ini ada terindikasi memanfaatkan masyarakat untuk membuat pengaduan.
Bahkan lagi, demo kemarin pun kita masih tanda tanya, siapa dalang di belakang dan siapa penggeraknya atau siapa donaturnya.
Kok jadi rakyat yang diadu bak laga ayam???
Baiklah, kasus ini sekarang ranahnya sudah berada di Mahkamah Agung (MA). Artinya, keputusan DPRD yang dibuat melalui dokumen Hak Angket akan diuji oleh MA.
Kita yakini bahwa MA akan bijak melihat ini. Dan kita yakin cara berpikir anggota MA bukanlah seperti cara berpikir anggota dewan yang terhormat itu.
Mereka ahli hukum yang akan mengkaji keputusan DPRD Siantar.
Dan terkait pemakzulan Wali Kota Siantar, anggota MA pasti sudah paham benar iklim politik yang sedang bergulir.
Karena istilah pemakzulan ini, bukan barang baru di Kota Siantar yang dikenal memiliki hawa sejuk dan asri.
Mendapatkan rekor MURI
Bahkan, kalau boleh usul, anggota DPRD Siantar sudah layak mendapatkan rekor MURI yang paling banyak mengusulkan Hak Angket.
Jadi, di Kota Pematang Siantar, Hak Angket itu bukan barang baru yang mahal, melainkan seperti barang bekas yang tak layak dipakai lagi.
Kita meyakini, MA akan memutuskan dengan menolak usulan DPRD Pematang Siantar karena sudah tidak relevan bahkan tidak sesuai dengan Hukum Tata negara.
Jika ini ditolak MA, bagaimana komunikasi Wali Kota dan DPRD selanjutnya?
Bagaimana situasi Pemilu 2024 di Kota Pematang Siantar mendatang?
Apakah hal ini terpikirkan anggota DPRD sebelum memutuskan Hak Angket?
Jika seperti ini rakyat tetap yang menjadi korban.
Di sisi lain, DPRD lupa dengan Motto Kota Pematang Siantar yaitu “Sapangambei Manoktok Hitei” yang artinya bergotong royong menyelesaikan masalah untuk tujuan yang mulia.
Apalagi ajaran Bapak Pendiri Bangsa, Bung Karno, yang mengajarkan gotong royong sesuai amanah Pancasila.
Seandainya DPRD menjalankan perintah ini, tidak mungkin ada kerja sendiri dengan arogansi lembaga masing-masing.
Penulis, Dedy Wibowo Damanik, Ketua HIMAPSI (Himpunan Mahasiswa dan Pemuda Simalungun) Kota Pematang Siantar.